Teori Feminis Liberal
Teori feminis adalah sebuah generalisasi
dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman
manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada wanita[1].
Ada tiga hal yang menjadi pusat teori ini, yakni (1) saasaran utama
studi ini adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat,(2)
proses penelitian, menjadikan wanita sebagai subyek utama, dan
menggunakan sudut pandang perempuan terhadap dunia sosial, (3)
dikembangkan oleh teori kritis dan aktivis demi kepentingan perempuan,
untuk menciptakan kehidupan perempuan yang lebih baik, dan untuk
kemanusiaan. Teori ini memang berbeda dengan teori sosiologi karena
dalam teori ini mempunyai fokus utama pada perempuan, dan teori ini juga
berasal dari pemikiran komunitas interdisipliner.
Teori feminis sejalan dengan pemikiran
teori kritis, dalam teori sosial kritis mempelajari bidang – bidang
pengetahuan yang secara aktif bergulat dengan persoalan sentral yang
dihadapi kelompok orang yang berada ditempat yang berbeda dalam konteks
politik, sosial, dan sejarah yang dicirikan oleh ketidakadilan. Sama
halnya dengan teori feminis yang bertujuan untuk memberikan pencerahan
dan kesetaraan bagi kaum perempuan dalam pencapaian kehidupan yang lebih
baik, dalam konteks politik ( posisi/jabatan publik), sosial
(kesetaraan gender, diakui dalam masyarakat), dan dari sejarah
ketidakadilan ataupun penindasan yang dialami perempuan. Sehingga teori
feminis hadir sejalan dengan teori sosial kritis yang mencoba untuk
menjawab pertanyaan : “ apa konsekuensi dari cara berpikir untuk
mengubah ketimpangan dalam kehidupan wanita?” Bagaimana cara menjelaskan
dunia seperti ini akan memperbaiki kehidupan semua perempuan?
(Hennessey dan Ingraham,1997:5).
Feminisme dan sosiologi telah menjadi
penting selama 5 tahun terakhir karena dampak dari teori feminis
terhadap deviasi (Barry, 1993;Bergen, 1996;Stiglmayer,1994), keluarga
(McMahon,1995;Stacey,1996), jabatan dan profesi
(Pierce,19955;Williams,1995), sosiologi politik
(Fraser,1997;Jackman,1994;Stetson dan Mazur,1995), gerakan sosial
(Ferree dan Martin, 1995;Taylor,1989;Whittier,1995;Gender& society
12:6,1998 dan 13:1,1999), dan stratifikasi (Ferree dan Hall,
1996;Ridgeway,1997).
Pertanyaan pertama feminisme “dan
bagaimana dengan wanita?” menghasilkan tiga perspektif sosial makro
utama yaitu fungsionalisme (Miriam Johnson, 1988,1989,1993) berfokus
pada perhatian dan fenomena feminis yang terjadi di negara atau bangsa,
konflik analitik berfokus pada pengelompokan kultural modern, dan teori
sistem dunia neo-Marxism yang membicarakan tentang kapitalisme global
sebagai sistem transisi dimana negara dan bangsa adalah struktur yang
penting.
Dalam teori fungsionalisme membicarakan
adanya stratifikasi gender menurut jenis kelamin didalam keluarga yang
menganut budaya patriarki, dan juga perbedaan fungsi perempuan. Johnson
sebagai pendukung utama teori ini mengatakan bahwa asal – usul
ketimpangan gender dalam struktur keluarga patriarki, yang hampir
ditemui diseluruh dunia yakni keluarga mempunyai fungsi yang berbeda
dari lembaga ekonomi dan lembaga “publik” lainnya. Didalam keluarga
patriarki wanita digolongkan pada pekerjaan yang memerlukan pengungkapan
kasih sayang, dilapangan pekerjaan yang biasanya didominasi pria ,
wanita juga harus mengedepankan perasaan, namun juga harus menerima
sanksi dari orientasi ini, dan selalu bertanggung jawab terhadap susunan
keluarga dan turut dalam partisipasi ekonomi. Sehingga yang tergambar ,
wanita diharuskan menjadi lemah dan selalu mengalah dalam hubungan
dengan suami, namun juga harus mengalami persaingan dalam mencari nafkah
keluarga. Hal ini telah menggambarkan telah terjadi ketimpangan gender
antara laki – laki dan perempuan seperti yang dikatakan oleh
Wollstonecraft, tentang menjadikan perempuan “personhood” (manusia
seutuhnya), baik kepada laki – laki dan perempuan. Budaya patriarki
merupakan salah satu hambatan dan masalah dalam perjuangan feminis.
Tipologi teori feminisme modern yang
melandasi bangunan teori sosiologi feminis, turut menggolongkan
pengkajian untuk menjawab setiap permasalahan yang terjadi pada
perempuan. Khususnya dalam menggunakan teori feminis liberal, teori ini
digunakan untuk menjawab permasalahan perempuan yang berhubungan dengan
posisi perempuan dikebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga
kurang beruntung atau tak setara dengan posisi laki –laki (lihat pada
tabel 9.1)[2].
Contoh nyata adalah keberadaan perempuan untuk mengisi posisi / jabatan
kepemimpinan di ruang publik yang masih terdiskriminasi dan mengalami
ketimpangan, penelitan yang dilakukan oleh Nus Aisyah Usman, tentang
“potret keterwakilan perempuan dalam pemerintahan di Aceh, ditemukan
banyak data yang menunjukkan adanya ketidaksetaraan antara laki – laki
dan perempuan, meskipun terjadi peningkatan jumlah perempuan yang
berpartisipasi dalam lembaga pemerintahan, peningkatan tersebut tidak
berbanding lurus dengan ditribusi posisi yang setara antara perempuan
dan laki – laki dalam berbagai posisi dalam lembaga pemerintahan, dimana
jumlah perempuan hanya terkonsentrasi pada posisi yang rendah dan bukan
posisi pengambil kebijakan utama, akses perempuan untuk menduduki
posisi manajemen senior sangat terbatas[3].
Ketimpangan gender terjadi apabila (1) wanita memiliki kesempatan untuk
memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang
untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada laki –laki, yang
kemudia membagi posisi sosial laki – laki dan perempuan berdasarkan
kelas, ras, pekerjaa, suku, agama, pendidikan, kebangsaan, dll. (2)
ketimpangan berasal dari masyarakat bukan dari perbedaan biologis atau
kepribadian penting antara laki – laki dan perempuan
(masyarakat/keluarga penganut budaya patriarki hampir diseluruh belahan
dunia), (3) Tidak ada perbedaan antara laki – laki dan perempuan, semua
manusia ditandai oleh kebutuhan mendalam akan kebebasan untuk
mengaktualisasi diri. Namun yang kebanyakan terjadi, secara situasional
perempuan kurang berkuasa ketimbang laki – laki untuk memenuhi kebutuhan
mereka dalam mengaktualisasi diri, (4) laki – laki dan perempuan akan
menghadapi situasi dan struktur yang sama yakni persamaan derajat.
Feminis liberal
Feminisme liberal merupakan salah satu
teori yang dapat digunakan untuk menggambarkan ketimpangan gender,
dimana teori feminis liberal ini mempunyai pemikiran bahwa laki – laki
dan perempuan mempunyai kapasitas yang sama, mempunyai nalar yang dapat
digunakan untuk berpikir, bahwa ketimpangan gender adalah akibat pola
seksis, budaya patriarki dari disivi kerja, dan kesetaraan gender dapat
diatasi dengan jalan mengubah divisi kerja, dengan cara pemolaan ulang
institusi – institusi (bidang pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan
media,) untuk mampu memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi
perempuan untuk memenuhi keinginan dan mendapat kebebasan dalam
mengaktualisasikan dirinya. Sejara telah menunjukkan bahwa feminis
liberal menuntut adanya kesetaraan gender. Feminis liberal mampu
memperlihatkan strategi yang akan menghasilkan kesetaraan gender melalui
peluang ekonomi, pendidikan untuk perempuan, dan menghilangkan
diskriminasi kerja , selain itu dengan adanya kesetaraan gaji membuat
kesetaraan gender dapat tercipta[4].
Akar daripada feminisme liberal
dikatakan bahwa pemikiran politis liberal mempunyai sifat dasar yakni
menempatkan manusia pada keunikan tersendiri dibanding makluk lainnya,
yakni kemampuan untuk bernalar dengan menekankan aspek moral atau aspek
prudential[5].
dengan kata lain prinsip feminisme liberal adalah perempuan dan laki –
laki mempunyai kemampuan untuk bernalar, sehingga mereka mempunyai hak –
hak dan kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. feminis liberal
melihat masih terjadi penindasan yang dilakukan terhadap perempuan,
belum terpenuhinya hak – hak perempuan, kesempatan, dan kebebasan karena
ia perempuan, itu berati perempuan masih mengalami penindasan,
sekalipun perempuan telah mendapatkan posisi puncaknya namun tidak dapat
diapresiasi secara penuh oleh lingkungan atau orang sekitarnya. Dalam
pemikiran utama feminis liberal telah terbagi menjadi dua golongan,
yakni kaum liberal klasik yang menggambarkan negara ideal, ialah negara
yang melindungi kebebasan sipil (hak milik, hak memilih, kebebasan
menyampaikan pendapat,kebebasan untuk berbeda, kebebasan berserikat.
Sedangkan bagi kaum liberal yang berorientasi pada kesejahteraan
(elagatarian), negara ideal ialah negara yang lebih berfokus pada
keadilan ekonomi, kebebasan sipil. Dua paham ini kemudian menjadi arus
pemikiran utama pada sekitar abad ke 18 -19. Tujuan utama dari feminisme
liberal adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat
kebebasan berkembang, karena hanya dalam kondisi seperti itu perempuan
dan laki-laki dapat mengembangkan diri.
Arus pemikiran feminis liberal terbagi
menjadi 3 fase dalam perkembangannya, yakni fase pertama pemikiran
feminis liberal abad ke -18 yang fokus membicarakan tentang pendidikan
yang setara bagi laki – laki dan perempuan, fase kedua pemikiran feminis
abad ke -19 yang fokus membicarakan mengenai hak politik dan kesempatan
ekonomi yang, dan fase ketiga gerakan feminis abad ke -20 yang fokus
membicarakan perempuan membutuhkan kesempatan ekonomi dan juga kebebasan
sipil untuk mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya. Feminis pada abad
ke – 19 lebih memihak kepada liberal klasik tetapi feminis pada abad
ke-19 memihak pada liberal egalitarian. Susan Wendel dalam tulisan
artikel Gadis Arivia, mengatakan bahwa “feminis liberal bukan berupaya
menjadi sosialis dengan tuntutan program – program bantuan pemerintah.
Feminis liberal hanya ingin adanya organisasi ekonomi dan kesetaraan
dalam distribusi kekayaan, sebab salah satu tujuan feminis liberal
adalah kesempatan yang adil[6].
Dalam pemikiran Mary Wollstonecraft,
terkait sifat utama manusia yang mempunyai kapasitas untuk bernalar, ia
berpendapat bahwa jika manusia memiliki kapasitas nalar, maka laki –
laki ataupun perempuan pasti juga sama memiliki kapasitas tersebut.
Sehingga masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan,
seperti juga kepada laki – laki, karena semua manusia berhak mendapatkan
kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan
moralnya, sehingga mereka bisa menjadi manusia yang utuh. Mary
Wollstonecraft mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang
otonom, jalan menuju pemikiran yang otonom hanya didapat dari pendidikan
yang setara. Wollstonecraft mencoba menghadirkan visi seorang perempuan
yang memiliki kekuatan fisik dan pikiran, dan merupakan budak atas
hasratnya, bukan budak suami maupun anak – anaknya. Wollstonecraft
menginginkan perempuan menjadi “personhood” (manusia
secara utuh ), perempuan adalah bukan “sekedar alat” dan “mainan laki –
laki” tetapi perempuan adalah “suatu tujuan”, agen bernalar, yang harga
dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri.
Seratus tahun kemudian memasuki abad ke
-19, John Stuart Mill dan Harriet Taylor mulai menyuarakan pemikiran
mereka bahwa untuk memaksimalkan kegunaan total (kebahagiaan /
kenikmatan ) adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa
yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau
menghalangi didalam proses pencapaian tersebut. contoh : ketika seorang
perempuan ingin mencapai kesuksesan dalam karirnya diranah publik, tidak
ada seorangpun yang boleh untuk membatasi dan menghalangi keinginan
tersebut, tentunya dengan resiko dan tanggungjawab nalar moralitas yang
melekat pada diri perempuan itu untuk mengambil keputusan secara otonom.
Mill berpendapat bahwa setelah perempuan mendapat pendidikan penuh dan
hak pilih, kebanyakan perempuan akan memilih untuk berada didalam ranah
pribadi, tempat fungsi primer mereka adalah untuk “memperindah dan
mempercantik diri”, daripada untuk “mendukung kehidupan” [hlm.24]. à (
apakah kondisi tersebut juga terjadi di perpustakaan ketika perempuan
sudah mendapatkan haknya untuk memilih dan mendapat pendidikan ?).
Sebaliknya Taylor beragumentasi bahwa tugas perempuan dan juga tugas
laki – laki adalah untuk “mendukung kehidupan”. Taylor dalam tulisannya
di Enfranchisement perempuan mempunyai pilihan ketiga yaitu menambahkan
karier atau pekerjaan kedalam peran serta tugas domestik dan
maternalnya. Meskipun perempuan telah mendapat haknya untuk menambahkan
karier atau pekerjaan kedalam perannya , namun kesetaraan dengan laki –
laki juga masih belum dapat tercapai, seperti yang dikatakan oleh Mill
pada tahun 1832, bahwa kesetaraan ekonomi perempuan akan menekan
perekonomian, dan kemudian menekan upah menjadi lebih rendah. Namun
Taylor, menegaskan bahwa perempuan yang sudah menikah tidak dapat
menjadi orang yang sungguh – sungguh setara dengan suaminya, kecuali ia
mempunyai kepercayaan diri dan rasa bahwa ia berhak atas kesetaraan itu
yang muncul dari kontribusi “material untuk menopang keluarga”. Taylor
bersikeras bahwasanya penting untuk perempuan bekerja, meskipun
upah/pendapatan yang dihasilkan tidak seberapa / lebih rendah dari
suami, karena istri harus menjadi partner dan istri harus mempunyai
penghasilan dari pekerjaan diluar rumahnya.
Pemikiran feminis liberal abad ke-20
berfokus pada perlakuan perempuan dan laki –laki secara sama atau
mungkin berbeda. Betty friedan, salah satu presiden dari National
Organization for Woman (NOW) dalam The Feminist Mystique
mengatakan bahwa perempuan kontemporer perlu mendapat pekerjaan yang
bermakna dalam pekerjaan disektor publik secara penuh waktu.
Ketidakhadiran ibu dirumah akan memungkinkan suami dan anak – anak
menjadi lebih mandiri, mampu memasak makanan mereka sendiri, dan dapat
mencuci baju mereka sendiri[7].
Permasalah kemudian timbul perempuan mengalami peran ganda sebagai
seorang ibu atau istri, ibu yang harus merawat anak – anaknya, dan istri
yang harus membantu dan bersinergi dengan laki –laki untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi. Seperti dikatakan friedan tahun 1980an, [8]Bersama
dengan laki –laki perempuan mungkin dapat mengembangkan jenis nilai –
nilai sosial, gaya kepemimpinan, dan struktur institusional yang akan
memungkinkah kedua gender untuk mencapai pemenuhannya, baik didunia
publik maupun privat.
Arah Feminisme Liberal
Feminisme liberal berkeinginan untuk
membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu dari peran –
pera yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan
tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekal, bagi
perempuan, baik dalam akademi, forum, maupun pasar. Pemerintah mempunyai
peran penting dalam kegiatan feminis liberal dan ikut bertanggungjawab
untuk meniadakan diskriminasi baik seksual maupun penghasilan dan ikut
bertanggung jawab untuk membuat perempuan di negara tersebut aman dari
pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan yang sering dialami
perempuan.
Beberapa penelitian dilakukan dengan
menggunakan teori feminis liberal untuk menjawab berbagai pertanyaan
tentang feminisme, salah satu diantaranya adalah penelitian dalam
bidang sastra yakni untuk menganalisis karakter seorang tokoh novel
dengan pemeran utama perempuan seperti penelitian yang dilakukan untuk
menganalisis novel RELAX karya Alexa Hennig Von Lange, penelitian
dilakukan untuk membahas subordinasi pria terhadap perempuan dan
streotipe gender, selain itu teori feminis liberal juga digunakan untuk
meneliti masalah penindasan yang terjadi terhadap perempuan, penelitian
ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa perempuan telah mengalami dalam
situasi dan posisi yang berbeda termasuk pengalaman ketertindasan yang
juga berbeda sehingga tidak dapat difenisikan secara universal tetapi
justru diperhatikan keterbedaannya.
.
Bahan bacaan :
- Jurnal Perempuan.Vol.17.,4,Desember 2012.Perempuan Pejabat Publik
- Jurnal Perempuan.63.Catatan Perjuangan Potilik Perempuan.
- Heroepoetri, Arimbi.2004.Percakapan tentang Feminisme dan Neoliberalisme. Jakarta:debWATCH.
- Ritzer,George.2003.Toeri Sosiologi Modern;Teori Feminisme Modern. (Jakarta:Kencana,hlm.403).
- Tong,Rosemarie Putnam.2004.Feminis Thought; Feminis Liberal. (Jakarta:Jalasutra,hlm.16).
[1] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.(Jakarta;Kencana,hlm.403).
[2] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.(Jakarta;Kencana,hlm.415).
[3] Nur Aisyah Usman.2012.Potret Keterwakilan Perempuan dalam Pemerintahan di Aceh.(Jurnal Perempuan.Vol17.No.4)
[4] Ritzer,George.Teori Sosiologi Modern.
[5] Tong,Rosemarie Putnam.2004.Feminis Thought.(Jakarta:Jalasutra,hlm.15).
[6] Susan Wendell. A Defense of liberal feminism. Hal.66
[7] Betty Friedan. The Feminist Mystique (New York: Dell,1974).
[8] Betty Friedan.The Second Stage (New York:Summit Books,1981).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar