Rabu, 02 Desember 2015

Review Buku Feminis Thought


 Teori Feminis Liberal

Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada wanita[1]. Ada tiga hal yang menjadi pusat teori ini, yakni (1) saasaran utama studi ini adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat,(2) proses penelitian, menjadikan wanita sebagai subyek utama, dan menggunakan sudut pandang perempuan terhadap dunia sosial, (3) dikembangkan oleh teori kritis dan aktivis demi kepentingan perempuan, untuk menciptakan kehidupan perempuan yang lebih baik, dan untuk kemanusiaan. Teori ini memang berbeda dengan teori sosiologi karena dalam teori ini mempunyai fokus utama pada perempuan, dan teori ini juga berasal dari pemikiran komunitas interdisipliner.

Teori feminis sejalan dengan pemikiran teori kritis, dalam teori sosial kritis mempelajari  bidang – bidang pengetahuan yang secara aktif bergulat dengan persoalan sentral yang dihadapi kelompok orang yang berada ditempat yang berbeda dalam konteks politik, sosial, dan sejarah yang dicirikan oleh ketidakadilan. Sama halnya dengan teori feminis yang bertujuan untuk memberikan pencerahan dan kesetaraan bagi kaum perempuan dalam pencapaian kehidupan yang lebih baik, dalam konteks politik ( posisi/jabatan publik), sosial (kesetaraan gender, diakui dalam masyarakat), dan dari sejarah ketidakadilan ataupun  penindasan yang dialami perempuan. Sehingga teori feminis hadir sejalan dengan teori sosial kritis yang mencoba untuk menjawab pertanyaan : “ apa konsekuensi dari cara berpikir untuk mengubah ketimpangan dalam kehidupan wanita?” Bagaimana cara menjelaskan dunia seperti ini akan memperbaiki kehidupan semua perempuan? (Hennessey dan Ingraham,1997:5).  
Feminisme dan sosiologi telah menjadi penting selama 5 tahun terakhir karena dampak dari teori feminis terhadap deviasi (Barry, 1993;Bergen, 1996;Stiglmayer,1994), keluarga (McMahon,1995;Stacey,1996), jabatan dan profesi (Pierce,19955;Williams,1995), sosiologi politik (Fraser,1997;Jackman,1994;Stetson dan Mazur,1995), gerakan sosial (Ferree dan Martin, 1995;Taylor,1989;Whittier,1995;Gender& society 12:6,1998 dan 13:1,1999), dan stratifikasi (Ferree dan Hall, 1996;Ridgeway,1997).


Pertanyaan pertama feminisme “dan bagaimana dengan wanita?” menghasilkan tiga perspektif sosial makro utama yaitu fungsionalisme (Miriam Johnson, 1988,1989,1993) berfokus pada perhatian dan fenomena feminis yang terjadi di negara atau bangsa, konflik analitik berfokus pada pengelompokan kultural modern, dan teori sistem dunia neo-Marxism yang membicarakan tentang kapitalisme global sebagai sistem transisi dimana negara dan bangsa adalah struktur yang penting.
Dalam teori fungsionalisme membicarakan adanya stratifikasi gender menurut jenis kelamin didalam keluarga yang menganut budaya patriarki, dan juga perbedaan fungsi perempuan. Johnson sebagai pendukung utama teori ini mengatakan bahwa asal – usul ketimpangan gender dalam struktur keluarga patriarki, yang hampir ditemui diseluruh dunia yakni keluarga mempunyai fungsi yang berbeda dari lembaga ekonomi dan lembaga “publik” lainnya. Didalam keluarga patriarki wanita digolongkan pada pekerjaan yang memerlukan pengungkapan kasih sayang, dilapangan pekerjaan yang biasanya didominasi pria , wanita juga harus mengedepankan perasaan, namun juga harus menerima sanksi dari orientasi ini, dan selalu bertanggung jawab terhadap susunan keluarga dan turut dalam partisipasi ekonomi. Sehingga yang tergambar , wanita diharuskan menjadi lemah dan selalu mengalah dalam hubungan dengan suami, namun juga harus mengalami persaingan dalam mencari nafkah keluarga. Hal ini telah menggambarkan telah terjadi ketimpangan gender antara laki – laki dan perempuan seperti yang dikatakan oleh Wollstonecraft, tentang menjadikan perempuan “personhood” (manusia seutuhnya), baik kepada laki – laki dan perempuan. Budaya patriarki merupakan salah satu hambatan dan masalah dalam perjuangan feminis.
Tipologi teori feminisme modern yang melandasi bangunan teori sosiologi feminis, turut menggolongkan pengkajian untuk menjawab setiap permasalahan yang terjadi pada perempuan. Khususnya dalam menggunakan teori feminis liberal, teori ini digunakan untuk menjawab permasalahan perempuan yang berhubungan dengan posisi perempuan dikebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang beruntung atau tak setara dengan posisi laki –laki (lihat pada tabel 9.1)[2]. Contoh nyata adalah keberadaan perempuan untuk mengisi posisi / jabatan kepemimpinan di ruang publik yang masih terdiskriminasi dan mengalami ketimpangan, penelitan yang dilakukan oleh Nus Aisyah Usman, tentang “potret keterwakilan perempuan dalam pemerintahan di Aceh, ditemukan  banyak data yang menunjukkan adanya ketidaksetaraan antara laki – laki dan perempuan, meskipun terjadi peningkatan jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam lembaga pemerintahan, peningkatan tersebut tidak berbanding lurus dengan ditribusi posisi yang setara antara perempuan dan laki – laki dalam berbagai posisi dalam lembaga pemerintahan, dimana jumlah perempuan hanya terkonsentrasi pada posisi yang rendah dan bukan posisi pengambil kebijakan utama, akses perempuan untuk menduduki posisi manajemen senior sangat terbatas[3]. Ketimpangan gender terjadi apabila (1) wanita memiliki kesempatan untuk memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada laki –laki, yang kemudia membagi posisi sosial laki – laki dan perempuan berdasarkan kelas, ras, pekerjaa, suku, agama, pendidikan, kebangsaan, dll. (2) ketimpangan berasal dari masyarakat bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian penting antara laki – laki dan perempuan (masyarakat/keluarga penganut budaya patriarki hampir diseluruh belahan dunia), (3) Tidak ada perbedaan antara laki – laki dan perempuan, semua manusia ditandai oleh kebutuhan mendalam akan kebebasan untuk mengaktualisasi diri. Namun yang kebanyakan terjadi, secara situasional perempuan kurang berkuasa ketimbang laki – laki untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam mengaktualisasi diri, (4) laki – laki dan perempuan akan menghadapi situasi dan struktur yang sama yakni persamaan derajat.

Feminis liberal
Feminisme liberal merupakan salah satu teori yang dapat digunakan untuk menggambarkan ketimpangan gender, dimana teori feminis liberal ini mempunyai pemikiran bahwa laki – laki dan perempuan mempunyai kapasitas yang sama, mempunyai nalar yang dapat digunakan untuk berpikir, bahwa ketimpangan gender adalah akibat pola seksis, budaya patriarki dari disivi kerja, dan kesetaraan gender dapat diatasi dengan jalan mengubah divisi kerja, dengan cara pemolaan ulang institusi – institusi (bidang pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan media,) untuk mampu memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memenuhi keinginan dan mendapat kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya. Sejara telah menunjukkan bahwa feminis liberal menuntut adanya kesetaraan gender. Feminis liberal mampu memperlihatkan strategi yang akan menghasilkan kesetaraan gender melalui peluang ekonomi, pendidikan untuk perempuan, dan menghilangkan diskriminasi kerja , selain itu dengan adanya kesetaraan gaji membuat kesetaraan gender dapat tercipta[4].
Akar daripada feminisme liberal dikatakan bahwa pemikiran politis liberal mempunyai sifat dasar yakni menempatkan manusia pada keunikan tersendiri  dibanding makluk lainnya, yakni kemampuan untuk bernalar dengan menekankan aspek moral atau aspek prudential[5].  dengan kata lain prinsip feminisme liberal adalah perempuan dan laki – laki mempunyai kemampuan untuk bernalar, sehingga mereka mempunyai hak – hak dan kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. feminis liberal melihat masih terjadi penindasan yang dilakukan terhadap perempuan, belum terpenuhinya hak – hak perempuan, kesempatan, dan kebebasan karena ia perempuan, itu berati perempuan masih mengalami penindasan, sekalipun perempuan telah mendapatkan posisi puncaknya namun tidak dapat diapresiasi secara penuh oleh lingkungan atau orang sekitarnya.  Dalam pemikiran utama feminis liberal telah terbagi menjadi dua golongan, yakni kaum liberal klasik yang menggambarkan negara ideal, ialah negara yang melindungi kebebasan sipil (hak milik, hak memilih, kebebasan menyampaikan pendapat,kebebasan untuk berbeda, kebebasan berserikat. Sedangkan bagi kaum liberal yang berorientasi pada kesejahteraan (elagatarian), negara ideal ialah negara yang lebih berfokus pada keadilan ekonomi, kebebasan sipil. Dua paham ini kemudian menjadi arus pemikiran utama pada sekitar abad ke 18 -19. Tujuan utama dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang, karena hanya dalam kondisi seperti itu perempuan dan laki-laki dapat mengembangkan diri.
Arus pemikiran feminis liberal terbagi menjadi 3 fase dalam perkembangannya, yakni fase pertama pemikiran feminis liberal abad ke -18 yang fokus membicarakan tentang pendidikan yang setara bagi laki – laki dan perempuan, fase kedua pemikiran feminis abad ke -19 yang fokus membicarakan mengenai hak politik dan kesempatan ekonomi yang, dan fase ketiga gerakan feminis abad ke -20 yang fokus membicarakan perempuan membutuhkan kesempatan ekonomi dan juga kebebasan sipil untuk mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya. Feminis pada abad ke – 19 lebih memihak kepada liberal klasik tetapi feminis pada abad ke-19 memihak pada liberal egalitarian. Susan Wendel dalam tulisan artikel Gadis Arivia, mengatakan bahwa “feminis liberal bukan berupaya menjadi sosialis dengan tuntutan program – program bantuan pemerintah. Feminis liberal hanya ingin adanya organisasi ekonomi dan kesetaraan dalam distribusi kekayaan, sebab salah satu tujuan feminis liberal adalah kesempatan yang adil[6].
Dalam pemikiran Mary Wollstonecraft, terkait sifat utama manusia yang mempunyai kapasitas untuk bernalar, ia berpendapat bahwa jika manusia memiliki kapasitas nalar, maka laki – laki ataupun perempuan pasti juga sama memiliki kapasitas tersebut. Sehingga masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada laki – laki, karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, sehingga mereka bisa menjadi manusia yang utuh. Mary Wollstonecraft mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom, jalan menuju pemikiran yang otonom hanya didapat dari pendidikan yang setara. Wollstonecraft mencoba menghadirkan visi seorang perempuan yang memiliki kekuatan fisik dan pikiran, dan merupakan budak atas hasratnya, bukan budak suami maupun anak – anaknya. Wollstonecraft menginginkan perempuan menjadi “personhood” (manusia secara utuh ), perempuan adalah bukan “sekedar alat” dan “mainan laki – laki” tetapi perempuan adalah “suatu tujuan”, agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri.
Seratus tahun kemudian memasuki abad ke -19, John Stuart Mill dan Harriet Taylor mulai menyuarakan pemikiran mereka bahwa untuk memaksimalkan kegunaan total (kebahagiaan / kenikmatan ) adalah dengan membiarkan setiap individu untuk mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi didalam proses pencapaian tersebut. contoh : ketika seorang perempuan ingin mencapai kesuksesan dalam karirnya diranah publik, tidak ada seorangpun yang boleh untuk membatasi dan menghalangi keinginan tersebut, tentunya dengan resiko dan tanggungjawab nalar moralitas yang melekat pada diri perempuan itu untuk mengambil keputusan secara otonom. Mill berpendapat bahwa setelah perempuan mendapat pendidikan penuh dan hak pilih, kebanyakan perempuan akan memilih untuk berada didalam ranah pribadi, tempat fungsi primer mereka adalah untuk “memperindah dan mempercantik diri”, daripada untuk “mendukung kehidupan” [hlm.24]. à ( apakah kondisi tersebut juga terjadi di perpustakaan ketika perempuan sudah mendapatkan haknya untuk memilih dan mendapat pendidikan ?). Sebaliknya Taylor beragumentasi bahwa tugas perempuan dan juga tugas laki – laki adalah untuk “mendukung kehidupan”. Taylor dalam tulisannya di Enfranchisement perempuan mempunyai pilihan ketiga yaitu menambahkan karier atau pekerjaan kedalam peran serta tugas domestik dan maternalnya. Meskipun perempuan telah mendapat haknya untuk menambahkan karier atau pekerjaan kedalam perannya , namun kesetaraan dengan laki – laki juga masih belum dapat tercapai, seperti yang dikatakan oleh Mill pada tahun 1832, bahwa kesetaraan ekonomi perempuan akan menekan perekonomian, dan kemudian menekan upah menjadi lebih rendah. Namun Taylor, menegaskan bahwa perempuan yang sudah menikah tidak dapat menjadi orang yang sungguh – sungguh setara dengan suaminya, kecuali ia mempunyai kepercayaan diri dan rasa bahwa ia berhak atas kesetaraan itu yang muncul dari kontribusi “material untuk menopang keluarga”. Taylor bersikeras bahwasanya penting untuk perempuan bekerja, meskipun upah/pendapatan yang dihasilkan tidak seberapa / lebih rendah dari suami, karena istri harus menjadi partner dan istri harus mempunyai penghasilan dari pekerjaan diluar rumahnya.  
Pemikiran feminis liberal abad ke-20 berfokus pada perlakuan perempuan dan laki –laki secara sama atau mungkin berbeda. Betty friedan, salah satu presiden dari National Organization for Woman (NOW) dalam The Feminist Mystique mengatakan bahwa perempuan kontemporer perlu mendapat pekerjaan yang bermakna dalam pekerjaan disektor publik secara penuh waktu. Ketidakhadiran ibu dirumah akan memungkinkan suami dan anak – anak menjadi lebih mandiri, mampu memasak makanan mereka sendiri, dan dapat mencuci baju mereka sendiri[7]. Permasalah kemudian timbul perempuan mengalami peran ganda sebagai seorang ibu atau istri, ibu yang harus merawat anak – anaknya, dan istri yang harus membantu dan bersinergi dengan laki –laki untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Seperti dikatakan friedan tahun 1980an, [8]Bersama dengan laki –laki perempuan mungkin dapat mengembangkan jenis nilai – nilai sosial, gaya kepemimpinan, dan struktur institusional yang akan memungkinkah kedua gender untuk mencapai pemenuhannya, baik didunia publik maupun privat.

Arah Feminisme Liberal
Feminisme liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu dari peran – pera yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekal, bagi perempuan, baik dalam akademi, forum, maupun pasar. Pemerintah mempunyai peran penting dalam kegiatan feminis liberal dan ikut bertanggungjawab untuk meniadakan diskriminasi baik seksual maupun penghasilan dan ikut bertanggung jawab untuk membuat perempuan di negara tersebut aman dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan yang sering dialami perempuan.
Beberapa penelitian dilakukan dengan menggunakan teori feminis liberal untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang feminisme, salah satu diantaranya adalah penelitian  dalam bidang sastra yakni untuk menganalisis karakter seorang tokoh novel dengan pemeran utama perempuan seperti penelitian yang dilakukan untuk menganalisis novel RELAX karya  Alexa Hennig Von Lange, penelitian dilakukan  untuk membahas subordinasi pria terhadap perempuan dan streotipe gender, selain itu teori feminis liberal juga digunakan untuk meneliti masalah penindasan yang terjadi terhadap perempuan, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bahwa perempuan telah mengalami dalam situasi dan posisi yang berbeda termasuk pengalaman ketertindasan yang juga berbeda  sehingga tidak dapat difenisikan secara universal tetapi justru diperhatikan keterbedaannya.
.


Bahan bacaan :
  • Jurnal Perempuan.Vol.17.,4,Desember 2012.Perempuan Pejabat Publik
  • Jurnal Perempuan.63.Catatan Perjuangan Potilik Perempuan.
  • Heroepoetri, Arimbi.2004.Percakapan tentang Feminisme dan Neoliberalisme. Jakarta:debWATCH.
  • Ritzer,George.2003.Toeri Sosiologi Modern;Teori Feminisme Modern. (Jakarta:Kencana,hlm.403).
  • Tong,Rosemarie Putnam.2004.Feminis Thought; Feminis Liberal. (Jakarta:Jalasutra,hlm.16).


[1] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.(Jakarta;Kencana,hlm.403).
[2] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.(Jakarta;Kencana,hlm.415).
[3] Nur Aisyah Usman.2012.Potret Keterwakilan Perempuan dalam Pemerintahan di Aceh.(Jurnal Perempuan.Vol17.No.4)
[4] Ritzer,George.Teori Sosiologi Modern.
[5] Tong,Rosemarie Putnam.2004.Feminis Thought.(Jakarta:Jalasutra,hlm.15).
[6] Susan Wendell. A Defense of liberal feminism. Hal.66
[7] Betty Friedan. The Feminist Mystique (New York: Dell,1974).
[8] Betty Friedan.The Second Stage (New York:Summit Books,1981).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar