PEREMPUAN PADA PEKERJAAN PERPUSTAKAAN
(Studi
tentang Eksistensi Perempuan terhadap Keberadaan liyan dan diri pada
Profesi Pustakawan di Kota Surabaya)
oleh :
Dewi Wahyu
Ningsih[1]
ABSTRACT
Library need workers with excellent
competent to serve user. Stereotipe appear
that women according to work of librarians and staf. Women have labeling to
work of service because gender stereotipe. Women most dominate
the work of librarian and staf. The
phenomenon happened in Indonesia and
other nation. Women dominate the work of librarians and staff at the college
library and public library in the city of Surabaya.
This research aims to determine the
condition and existence of women in librarian and staff. Qualitative research
tried to cover meaning dominate women of work librarians and staff. Research
done in library of college and public library in the city of Surabaya. Theory
of feminist exixtentialist Simone De Beauvoir used to analyze the existence of
women librarians and staff in the city of Surabaya.
The study have a conclusion that women in
librarian and was occured gender
stereotipe to fill women works. Women as liyan internalising a stereotipe,
it occured women not freedom to choose the next and the way of her self.
Not all women librarian and staff be a liyan,
some women have awareness her self and the important of her work as
librarians and staff. Women as self awareness her existence not because her “a
woman” but because her way.
Result of this study were found three
sypologies of women in the work of librarians and staff include: 1) self-consciousness as women librarians, ;
2) artificial-consciousness as women
librarians, ; 3) liyan-consciousness as women librarians.
Keyword:
women’s librarian, liyan and self,
existentialist feminism, gender stereotypes, Simone De Beauvoir.
Pendahuluan
Profesi pustakawan telah banyak
diminati oleh sebagian masyarakat. Pada umumnya yang seringkali mengisi profesi
pustakawan adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan.[2]
Profesi pustakawan banyak diminati oleh perempuan karena berhubungan dengan
masyarakat dan pelayanan. Pustakawan sebagai sumber daya manusia dalam
perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Profesi
pustakawan dinggap sempurna apabila dikerjakan oleh perempuan.[3] Keuletan,
ketelitian dan ketelatenan dibutuhkan pustakawan untuk melayani pengguna.
Pustakawan dituntut untuk mengerjakan tugas rutin dan administrasi. Perempuan
dianggap lemah secara fisik, sehingga menimbulkan stereotipe dalam masyarakat bahwa perempuan tidak cocok melakukan
pekerjaan menyerupai bisnis,ambisi atau terbuka untuk eksperimental. Perempuan
distereotipe sesuai untuk mengisi
pekerjaan yang rutinitas dan pekerjaan yang berhadapan langsung dengan
masyarakat luas dengan kemampuan alamiah “feminin” yang dimiliki perempuan.[4]
Sebuah artikel dalam jurnal
menjelaskan bahwa perempuan mengalami stereotipe
dengan menganggap perempuan mempunyai fisik lebih lemah dari laki-laki,
tetapi lebih cermat, telaten, sabar, rajin, rapi, bersih dan berpenampilan
menarik, sehingga dikatakan sesuai untuk melakukan pelayanan. Perempuan
mempunyai kebiasaan disiplin, rajin, rapi, bersih, tepat janji, serta
berpengetahuan luas, mempunyai sikap wajar, sopan, ramah, tanggap, ulet,
telaten dan sesuai untuk pekerjaan yang menuntut adanya rutinitas.[5]
Sebuah penelitian di luar negeri
menyebutkan bahwa perempuan dianggap sempurna untuk melakukan tugas-tugas
feminis yang dituntut dalam bidang kepustakaan. Salome Cutler Fairchild
meneliti tentang dominasi perempuan di wilayah perpustakaan di Amerika. Hasil
menunjukkan dari 94 perpustakaan termasuk 54
perpustakaan umum, 6 perpustakaan rujukan, 3 perpustakaan pemerintah, 3
perpustakaan deposit dan 4 peprustakaan langganan dari 2.958 pegawai 2.024
diantaranya perempuan.[6]
Menurut data Libary Association pada
tahun 1993, 75% pustakawan dan staf adalah perempuan. Jones dan Goulding (1999)
menulis bahwa perempuan membentuk tulang punggung perpustakaan dan layanan
informasi.[7]
Di Indonesia sendiri, dominasi perempuan di perpustakaan juga terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Sumarningsih (2014) tentang Dominasi Wanita
dalam Profesi Informasi menunjukkan hasil bahwa pekerjaan ilmu perpustakaan dan
informasi masi didominasi oleh perempuan sebanyak 75% pustakawan dan staf
perpustakaan di Jakarta dalah perempuan.[8]
Fenomena ini juga terjadi di Kota
Surabaya, baik di perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum. Di
Perpustakaan Umum Kota Surabaya, data dari Kabag Pembinaan menunjukkan bahwa
dari 493 pegawai perpustakaan jumlah pegawai berjenis kelamin perempuan
sebanyak 341 atau sebesar 69%.
Dominasi
perempuan di perpustakaan tidak lain karena tugas dan fungsi yang ada di
perpustakaan seperti katalogisasi, pengolahan bahan pustaka, pelayanan,
pengadaan bahan pustaka, hingga sistem sirkulasi membutuhkan pengalaman dan
pelayanan yang ramah, teliti, dan prima dari seorang perempuan. Perempuan
dianggap mampu untuk melakukan tugas – tugas feminin yang dituntut dalam bidang
kepustakaan. Posisi laki – laki dan perempuan di perpustakaan masing – masing
membawa streotipe kedalam lingkungan
kerja, yang dapat mempengaruhi semua aspek pekerjaan dari pengangkatan awal
sampai menentukan siapa yang akan dimasukkan dalam ranking jabatan.[9]
Perempuan yang terjun dalam
pekerjaan yang mengalami “feminisasi” dan budaya patriarkis sangat dekat dengan
praktik ketidakadilan dan ketimpangan gender didalamnya. Di perpustakaan
sendiri hal ini ditengarai dengan dominasi perempuan di perpustakaan ternyata
membuat perbedaan bidang kerja sendiri bagi perempuan dan laki-laki. Perempuan
cenderung ditempatkan pada bagian front
line dan
bagian pelayanan yang bertemu langsung dengan pengguna, sedangkan laki-laki
ditempatkan pada bidang pekerjaan IT, pekerjaan lapangan dll. Hal ini bisa
dijumpai di Perpustakaan Perguruan Tinggi dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya.
Perempuan
ketika memasuki ranah publik termasuk
profesi pustakawan ada pelabelan yang
melekat dalam diri perempuan. Perempuan mengalami pelabelan dalam bentuk stereotipe gender ketika memasuki bidang pekerjaan perempuan
cenderung diarahkan untuk mengisi bagian pelayanan. Streotipe perempuan muncul bahwasanya perempuan harus lebih
bersifat ‘keperempuanan’ dan hal ini melekat dalam diri perempuan. Ketika
mereka terjuan ke ruang publik pun mereka masih harus bersifat keperempuanan
dan tidak sedikit yang mengisi
“pekerjaan perempuan”. Jadi tampak bahwa perempuan benar-benar sebagai liyan, menjadi yang diluar dirinya.[10] Ada
pelabelan yang kuat pada diri perempuan ketika mereka masuk dalam ranah publik,
pelabelan dalam bentuk stereotipe.
Ketimpangan
dalam pembagian bidang kerja antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan
banyak ditempatkan pada bidang pelayanan menunjukkan bahwa telah terjadi
ketidakadilan yang dialami perempuan. Perempuan dimarginalisasi dalam bentuk
pelabelan memilliki sifat feminin yang sesuai untuk mengisi bagian pelayanan. Perempuan
mengalami pelabelan dalam bentuk stereotipe
yang melekat dalam diri perempuan. Pembagian tugas yang tidak seimbang
antara laki-laki dan perempuan akan berdampak pada peniadaan ruang bagi
perempuan untuk memilih dan memutuskan apa yang diinginkan.[11]
Berdasarkan
uraian data tersebut memunculkan realitas bahwa perenpuan telah mengalami stereotipe untuk memiliki sifat yang telaten, sabar, melayani
dan cenderung “feminin”, sifat
perempuan ini dikontruksi oleh masyarakat bahwa sifat feminin perempuan itu
sesuai untuk pekerjaan di perpustakaan, sehingga hal ini menyebabkan perempuan
“tidak bebas” untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Perempuan telah mengalami streotipe untuk tidak menjadi dirinya
sendiri. Perempuan dekat dengan sifat femininnya yang mana sifat itu syarat
dengan adanya diskriminasi yang dialami perempuan dalam segala aspek, termasuk
dalam pekerjaan termasuk pelabelan sifat perempuan yang feminin dan cocok untuk
pekerjaan perempuan.
Penelitian ini menjadi penting untuk
diteliti karena perempuan harus terhindar dari pelabelan negatif yang dapat
merugikan perempuan, perempuan sebenarnya dapat mengerjakan pekerjaan apasaja
sesuai dengan pilihannya sendiri, namun karena perempuan telah terhegemoni oleh
setreotipe masyarakat. Perempuan dalam hal ini menurut
Beauvoir mengalami keliyanan.. Beauvoir
dalam teorinya feminis eksistensialis mengajak perempuan untuk dapat hidup
bebas menentukan masa depannya secara otonom tanpa ada dorongan atau arahan
dari orang lain. Beauvoir mengajak perempuan untuk menjadi diri. Perempuan harus dapat bebas mengekspresikan dirinya dalam
segala aspek karena perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan
perempuan bebas menentukan masa depannya sendiri tanpa dorongan dan arahan dari
oranglain berarti perempuan telah berada pada eksistensinya sendiri sebagai
manusia.
Fokus
Penelitian
Peneliti
memusatkan perhatian pada beberapa pertanyaan sebagai berikut:
- Apakah perempuan pada pekerjaan perpustakaan mengalami stereotipe?
- Bagaimana perempuan mengalami setreotipe untuk menjadi liyan dan diri pada pekerjaan pustakawan dan staf perpustakaan?
- Bagaimana eksistensi perempuan pustakawan dan staf perpustakaan dalam keberadaan liyan dan diri
Metode
dan Prosedur Penelitian
Tipe penelitian
yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pemilihan informan menggunakan teknik
non random sampling, dengan teknik pengambilan purposive sampling dilanjutkan ke snowball sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik
wawancara, observasi dan triangulasi sumber.
Tinjauan Pustaka
1.
Stereotipe dan Gender atas Pekerjaan Perempuan
Stereotipe
adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum stereotipe
merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan
biasanya pelabelan selalu berakibat pada ketidakadian, sehingga dinamakan stereotipe negatif. Hal ini disebabkan
pelabelan yang sdah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia
yang kuat, rasional, jantan, perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang
lembut cantik, emosional atau keibuan.[12]
Streotipe
gender adalah kategori luas yang merefleksikan
kesan dan keyakinan tentang perilaku laki-laki dan perempuan. Semua streotipe baik berhubungan dengan
gender, etnis atau kategori lain mengacu pada citra anggota tersebut. Banyak streotipe yang muncul dan bersifat umum
sehingga menjadi ambigu, misalkan kategori maskulin dan feminin.[13]
Menurut
Baron dan Byrne (1997) stereotipe gender mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan
tertentu, mencegah promosi tertentuk
untuk perempuan serta menghambat perempuan
mendapatkan upah yang sama
dalam pekerjaannya.
Adanya streotipe tersebut tentu saja akan
muncul banyak streotipe yang
dikontruksi oleh masyarakat sebagai hasil hbungan sosial tentang perbedaan
laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan identik dengan
pekerjaan-pekerjaan dirumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah
sangat terbatas., bahkan ada perempuan yang berpendidikan tinggi tidak pernah
menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri. Akibat adanya streotipe
(pelabelan) banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah merupakan kodrat.[14]
2.
Feminis
Eksistensialis Simone De Beauvoir
Teori feminis telah membentuk suatu tipologi
tersendiri untuk mengkaji segala permasalahan tentang perempuan sama halnya
untuk menjelaskan adanya perbedaan gender. Dalam menjelaskan adanya perbedaan
gender seringkali digunakan teori yang dapat mendeskripsikan, menjelaskan dan
melacak implikasi bagaimana perempuan dan lelaki menjadi tidak sama dalam hal
perilaku dan pengalaman. Analisis fenomenologis dan eksistensial dapat
digunakan untuk mengkaji adanya perbedaan gender, utamanya yaitu terkait adanya
marginalisasi perempuan sebagai Other
dalam kultur yang diciptakan laki – laki.
Simone de Beaviour
adalah tokoh dari feminis eksistensialisme. Beauvoir menganalisis situasi
perempuan pada begitu banyak ranah (sastra, agama, politik, kerja, pendidikan)
yang berbeda dan tidak memiliki sumber historis yang sebanding. Beauvoir
memberikan sumbangsih pemikiran feminis tentang keliyanan perempuan.[15]
Eksistensialisme
merupakan suatu gerakan filosofis yang mempelajari pencarian makna seseorang
dalam keberadannya (eksistensinya). Manusia yang eksis adalah manusia yang
berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Berbicara mengenai makna,
eksistensialisme tidak memperlakukan individu sekedar konsep, melainkan sebagai
sukbyek individu yang melampaui obyeksitasnya. Eksistensialis menjelaskan tentang eksistensi
perempuan, Beaviour menggunakan bahasa ontologis dan eksistensialisme.
Dalam ranah
feminisme eksistensialis hak tersebut dapat dimisalkan tidak berlakunya staus
dan peran perempuan dalam masyarakat. Feminis eksistensialis memiliki kuasa
penuh untuk menentukan status dan perannya sendiri dan mampu membawa perubahan
dengan mendobrak tatanan nilai dan norma sosial yang telah mapan dimasyarakat.[16]
Feminis
eksistensialis Beauvoir menganjurkan perempuan untuk hidup secara otentik yakni
memunculkan kesadaran bahwa pada hakekatnya mereka bebas, tak terikat dengan
segala aturan, hukum, nilai, norma dan streotipe yang ada. Dalam hal ini,
feminis eksistensialis menilai wanita dengan mauvaise foi (keyakinan buruk) yaitu perempuan terjebak dalam keyakinan yang buruk dalam bentuk-bentuk streotipe dan cenderung
menajdi inferior laki-laki.[17]
Beauvior
menganalisis tentang bagaimana perempuan menjadi liyan. Beauvior menelaah perempuan tidak hanya berbeda dan terpisah
dari laki – laki, tetapi juga inferior terhadap laki – laki.[18]
Diskursus
filosofis liyan tak terpisahkan dari
eksistensi perempuan. Perempuan kerap memegang peran keduanya dalam budaya
patriarki maskulinistik juga menjadi skema penyingkiran kaum perempuan secara
mudah. Liyan adalah the second sex. Simone De Beauvior
filosof perempuan menggagas pernyataan ini. Perempuan adalah Liyan. Menurut Simone De Beauvior
perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia “dibuat demikian”, perempuan telah
lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir melainkan “dicetak”, artinya
perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari segala pengakuan
kesederajatan luhur dan indah.[19]
Pemikiran Simone
De Beauvior mengenai eksistensi perempuan memang berangkat dari situasi
keseharian yang konkret, bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki. Menurut
Beauvoir perempuan menerima ke-liyan-an mereka
sebagai mistero feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui
sosialisasi perempuan.
Analisis
dan Interpretasi Teoritik
Internalisasi
Keliyanan Perempuan
Perempuan
sebagai liyan dapat terjadi dan dilihat dari kecenderungan yang dialami oleh
perempuan ketika mengalami streotipe
gender, dalam artian perempuan menginternalisaikan streotipe yang berkembang dimasyarakat dan dijadikan pedoman dalam
menentukan masa depan termasuk pilihan-pilihan dalam hidupnya.
Dalam
konteks penelitian ini perempuan mendapatkan sosialisasi dari orang lain secara
terus menerus tentang profesi pustakawan dan staf perpustakaan. Sosialisasi
tersebut akan turut menstimulus pilihan
dan tindakan perempuan dalam menentukan
masa depannya. Proses sosialiasi yang dialami perempuan akan mempengaruhi pola
pikirnya dalam menentukan pekerjaan untuk dirinya. Ketika perempuan memilih
pekerjaan perpustakaan karena merasa keterbatasannya sebagai perempuan dan
bukan atas kemauan secara pribadi perempuan ini telah menginternalisasi streotipe gender yang dibuat oleh
masyarakat dan membuat perempuan terpaksa untuk memilih. Hal ini menunjukkan
bahwa perempuan sebagai liyan.
Dalam konteks
penelitian ini perempuan sebagai liyan adalah
perempuan yang tidak dapat menggariskan
hidupnya sendiri, tidak bebas memilih sesuai dengan keinginannya , cenderung
diarahkan dan terstreotipe oleh
keluarga maupun lingkungan untuk bekerja di perpustakaan sebagai pustakawan
atau staf perpustakaan.
Adapun beberapa
indikator yang dapat menjelaskan keliyanan
yang dialami perempuan yakni mengalami stereotipe
gender atas pekerjaan perempuan sebagai pustakawan, proses memilih dan
memutuskan kuliah di perpustakaan mengalami stereotipe,
memilih bekerja di perpustakaan mengalami stereotipe gender atas pekerjaan perempuan.
Transendensi Menjadi diri Perempuan Pustakawan
Menurut Simone De Beauvoir
kebebasan yang diberikan kepada perempuan haruslah kebebasan yang sama
diberikan kepada laki-laki. Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang
didasarkan pada kesadaran dalam diri sendiri.[20]
Keliyanan yang dialami oleh perempuan
pustakawan berdasarkan temuan data, telah mendorong perempuan memunculkan
kesadaran bahwa profesi ini memang penting bagi dirinya dan bagi orang lain, bukan karena mereka perempuan, namun
karena mereka merasakan bahwa perpustakaan dan profesinya adalah panggilan jiwa
bagi mereka. Kesadaran mereka muncul diimbangi dengan aktualisasi mereka yang
nyata dan memberi dampak kemajuan bagi perpustakaan tempat mereka bekerja.
Eksistensi muncul seiring dengan kesadaran yang dialami.
Perempuan mengalami kesadaran akan
eksistensi dan keberadaan dirinya dapat
diketahui melalui beberapa indikator yakni munculnya kesadaran menjadi diri perempuan pustakawan yaitu
kesadaran menjadi diri perempuan
pustakawan, perjuangan yang dilakukan dalam membentuk eksistensi sebagai diri perempuan pustakawan dan eksistensi
perempuan pustakawan.
Dari hasil temuan, tedapat beberapa
klasifikasi tipe pustakawan dalam kesdaran pada pencarian dirinya dalam profesi Pengklasifikasian dilakukan peneliti beranjak
dari data yang ditemukan dilapangan saat melakukan observasi dan wawancara
secara mendalam dengan masing-masing informan, kemudian dianalisis menggunakan
pisau analisa feminis eksistensialis Simone De Beauvoir.
Transendensi keliyanan menjadi diri dilakukan bukan dengan cara yang mudah tetapi
penuh perjuangan. Perempuan sebagai diri terus
menemukan arti hidupnya dengan cara melakukan perjuangan untuk mencari jatidiri
menemukan makna dalam profesinya. Setelah menemukan arti dirinya dan kesadaran makna dirinya
ia akan secara tulus menjalankan peranan profesinya.
Tipologi Kesadaran Perempuan Pustakawan di Surabaya
Feminis Eksistensialis
|
Unit Analisis
|
Kesadaran sebagai diri perempuan pustakawan
|
Kesadaran semu perempuan pustakawan
|
Ketidaksadaran sebagai liyan perempuan pustakawan
|
Internalisasi
Keliyanan
|
1.
Mengalami streotipe gender
|
Tidak mengalami streotipe gender.
Berpikir secara obyektif bahawa perempuan dan laki-laki bisa saja bekerja di
perpustakaan tergantung kapasitas, kemampuan dan kualitas individu.
|
Mengalami streotipe gender, sehingga
ada pandangan perempuan memang sesuai untuk bekerja di perpustakaan yang
berkaitan dengan pelayanan.
|
Mengalami streotipe gender. Pustakawan
pada tipe ini, berpadangan bahwa perempuan sesuai untuk pekerjaan di
perpustakaan karena berkaitan dengan pelayanan.
|
2.
Proses memilih
kuliah di perpustakaan : mengalami streotipe
|
Menentukan kuliah di jurusan ini
karena ada dorongan dari keluarga. Pustakawan dalam tipe ini mengalami
paksaan untuk kuliah di jurusan perpustakaan.
|
Menentukan kuliah di jurusan
perpustakaan karena adanya dorongan dari keluarga, dan karena paksaan
(setengah hati).
|
Menentukan kuliah di jurusan
perpustakaan karena adanya dorongan dari keluarga dan terstreotipe untuk
kuliah di perpustakaan
.
|
|
3.
Memilih bekerja di perpustakaan : mengalami
streotipe gender atas pekerjaan perempuan.
|
Memilih bekerja di perpustakaan karena
selinier dengan jurusan yang diambil ketika kuliah. Perempuan dalam tipe ini
mempunyai pertimbangan prospek yang bagus dari pekerjaan perpustakaan.
|
Memilih bekerja di perpustakaan karena
selinier dengan jurusan yang diambil ketika kuliah.
|
Memilih bekerja di perpustakaan karena
pekerjaan itu sesuai untuk perempuan yang berkaitan dengan pelayanan.
Perempuan sesuai untuk pekerjaan yang menuntut rutinitas dan pelayanan.
|
|
Transendensi Diri
|
1.
Kesadaran Menjadi Diri Perempuan Pustakawan
|
Mengalami kesadaran spiritual menjadi
diri perempuan pustakawan.
Menyadari bahwa profesinya adalah panggilan jiwa dan garis hidup yang
ditetapkan Tuhan untuk dirinya. kesadaran yang dialami adalah kesadaran yang
utuh dari dalam dirinya sendiri.
|
Mengalami kesadaran yang semu dan
bersifat sementara. Ada kesadaran hanya sesaat dan terkadang. Dalam ruang
kesadarannyperempuan ini masih mengalami stereotipe
gender dan memandang dirinya sesuai untuk pekerjaannya karena ia
perempuan. Ada kemauan untuk mengupgrade kemampuan dan aktif dalam berbagai
kegiatan namun hanya terkadang dan cenderung angin-anginan dalam melakukan
suatu tindakan.
|
Belum mengalami kesadaran akan
pentingnya profesinya dan keberadaaan dirinya di perpustakaan.
|
2.
Perjuangan menjadi diri perempuan pustakawan
|
Melakukan inovasi dan upgrading diri untuk mencari jati dirinya.
|
Melakukan perjuangan dengan aktif
dalam berbagai kegiatan di bidang kepustakawanan. Memberikan inovasi bagi
kemajuan perpustakaan.
|
Tidak
melakukan perjuangan untuk mencari jati dirinya karena bekerja hanya terjebak
dalam ruang rutinitas pekerjaan.
|
|
3.
Eksistensi Perempuan Pustakawan
|
Aktif dalam kegiatan diluar konteks
pekerjaannya sebagai pustakawan. Aktif dalam kegiatan organisasi, aktif
menulis, aktif berkomunitas.
|
Kesadaran yang dialami bersifat
sementara sehingga ruang eksistensi yang dibuat juga terkadang. Cenderung moody untuk melakukan kegiatan
tergantung suasana hati. Beraktualisasi apabila ada yang mendorong dan
memotivasi.
|
Belum melakukan aktualisasi diri yang menyebabkan dirinya menjadi
eksis. Pustakawan dalam tipe ini terjebak dalam ruang rutinitas pekerjaan
tanpa ada ruang aktualisasi diri.
|
Sumber
: Temuan data peneliti
Pemisahan Jenis Kelamin dan Bidang Kerja: (Relasi
antara Perempuan dan laki-laki di Perpustakaan)
Perempuan
dan laki-laki ketika memasuki dunia pekerjaan membawa stereotipe tersendiri kedalamnya. Perempuan mengalami stereotipe yang melekat pada diri perempuan ketika akan memasuki
ranah publik, tidak hanya disitu ketika mereka telah berada di ranah publik ada
stereotipe yang juga melekat dan
membuat mereka mengalami diskriminasi dalam bentuk pemisahan bidang kerja. Di
perpustakaan memang terdapat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.
Perempuan cenderung mengisi pekerjaan pelayanan dan laki-laki ditempatkan pada
pekerjaan lapangan dan berhubungan dengan fisik yang kuat dan kecanggihan
teknologi.
Saran
- Bagi perpustakaan yang ada di Kota Surabaya dalam menempatkan staf dan pegawai tidak melihat dari gender tetapi lebih melihat kapasitas, kekampuan dan kualitas yang ada pada masing-masing individu. Selain itu perlu penyeimbangan antara pegawai perempuan dan laki-laki sehingga tidak terjadi dominasi diantara keduanya. Selain itu, di perpustakaan perlu diberikan pelatihan, whorkshop, dan motivasi agar pustakawan mempunyai motivasi diri bahwa pekerjaan pustakawan penting bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Pemberian upgrading harus secara menyeluruh dan continoue diberikan kepada pustakawan. Agar pustakawan dapat berkembang skillI menjadi lebih baik.
- Bagi pemerintah, penetapan mengenai Undang-Undang perpustakaan perlu direvisi kembali mengenai bentuk layanan ideal. Layanan ideal harus secara jelas tertulis. Selain itu pemerintah harus menerapkan sistem ketenagakerjaan yang lebih humanis.
- Bagi masyarakat, agar masyarakat tidak lagi menstreotipkan bahwa perempuan dan laki-laki berdasarkan gender. Namun masyarakat harus bisa menilai dan melihat suatu hal secara objectif. Agar masyarakat tidak lagi menstreotipkan bahwa perempuanlah yang seusai untuk mengisi pekerjaan perpustakaan. Namun melihat kepada kapasitas individu masing-masing baik laki-laki ataupun perempuan.
- Bagi Pustakawan
·
Pustakawan
harus memiliki kesadaran penuh bahwa ia dalam profesinya mempunyai peranan yang
penting bagi masyarakat dalam upaya pembangunan bangsa. Pustakawan harus mampu
membawa kemajuan pada dunia perpustakaan Pustakawan harus mempunyai kebanggaan
atas profesinya sehingga pustakawan dapat berkembang dalam dunia
kepustakawanannya.
·
Bagi
calon pustakawan yang sekarang sedang menempuh pendidikan perpustakaan.
Seharusnya ketika memutuskan untuk bekerja di perpustakaan dan menjadi seorang pustakawan bukanlah
karena dorongan ataupun arahan dari orang lain sekalipu keluarga karena
pekerjaan adalah sebuah pilihan dari masing-masing individu. Ketika seseorang
bekerja tanpa paksaan dan dengan didasari kesadaran yang penuh akan pentingnya
sebuah profesi suatu pekerjaan maka pekerjaan yang dilakukan akan maksimal dan
membawa dampak perubahan karena mengerjakannya dengan sepenuh hati.
·
Bagi
perempuan yang ingin berprofesi pustakawan. Jangan sampai memutuskan berprofesi
sebagai pustakawan karena paksaan terlebih karena terstreotipe bahwa
perpustakaan sesuai dengan karakter perempuan. Sebenarnya banyak pekerjaan yang
bisa dikerjakan oleh perempuan tanpa melihat gender. Ketika perempuan memutuskan untuk bekerja sebagai pustakawan
harus berdasarkan kesadaran dirinya sendiri. Sehingga kualitaslah yang akan
membuktikan jika menjadi pustakawan karena kesadaran.
Daftar
Pustaka
Buku
Moleong, Lexy J..2010. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Ollenburger, Jane C dan Moore,
Helen A. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta
: Rineka Cipta.
Ritzer, George.2003, Toeri Sosiologi Modern;Teori Feminisme
Modern, Jakarta : Kencana.
Sugiyono.2009,
Memahami Penelitian Kualitatif,
Alfabeta, Bandung.
Sugiartati.
Handayani, Trisakti.2005. Konsep dan
Teknik Penelitian Gender, Malang : Universitas Negeri Malang.
Sulistyo-Basuki.1991. Pengantar ilmu
perpustakaan.
Jakarta: Gramedia Pusaka Utama.
Thornam,
Sue.2010.Teori Feminis dan Cultural
Studies. Yogyakarta : Jalasutra.
Tong,
Rosemarie Putnam.2004. Feminis Thought. Jakarta : Jalasutra.
Yusup M. Pawit.2009. Ilmu Informasi, komunikasi dan kepustakaan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Riyanto,
Armada.2011. Aku & Liyan, Malang
: Widya Sasana Publication.
Jurnal
Heryanti, Nurma. 1996. Wanita Lebih Telaten, Cermat, Ulet dalam
Meningkatkan Kualitas Pelayanan di Perpustakaan. FKP2T.
Sayekti,
Retno. 2006. Wanita dalam Sejarah
Perkembangan Kepustakaaan. Jakarta: [s.a].
Jurnal Online
Fidaus, Akhol. 2006. Teks Kartini, Teks Liyan. Media
Perempuan Multikultural Srintil dalam (http://srinthil.org/387/teks-kartini-teks-lyan/)
diakses pada tanggal 22 April 2015 pukul 16:17.
Skripsi
Sumarningsih, Siti.2014. Dominasi Wanita dalam Profesi Informasi.
Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia.
Fitriani, Dian Novita.2014. Penjiwaan Profesi Pustakawan ( Studi Fenomenologi
Tentang Konstruksi Sosial Pustakawan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya
Terhadap Profesi Pustakawan . Surabaya : Perpustakaan Universitas
Airlangga.
Disertasi
Soedarwo,
Vina Salviana Darvina.2012. Makna
Ideologi Politik aliran dan Ideologi Patriarkhi bagi Politisi Perempuan di
Malang Raya. Surabaya : Perpustakaan Universitas Airlangga.
Website :
https://sisilainpustakawan.wordpress.com/tag/aku-pustakawan/
diakses pada tanggal 19 April 2015 pukul 17:19.
https://www.academia.edu/4445402/makalah_feminisme
(makalah feminisme) (Diakses pada tanggal 14 Mei 2015
pada pukul 17:05).
http://dks-news.blogspot.com/2011/01/perempuan-dalam-jejak-jejak.html
(Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pada pukul
17:40 WIB.
[1]
Korespondensi: Dewi Wahyu
Ningsih 071116014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen Ilmu
Informasi dan Perpustakaan. Universitas Airlangga
[2]
Khusyairi, Johny Alfian.
2005. Potret Pustakawati dalam Otomasi
Perpustakaan. Surabaya : Jurnal penelitian Dinamika Sosial LPUA Vol.6 No.1.
Hal 11-20.
[3] Sayekti, Retno. 2006. Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan. Jakarta.: [s.a].
[4]
Sayekti, Retno. 2006, Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan,
[s.a], Jakarta.
[5]
Opini streotipe pustakawan
dalam : https://sisilainpustakawan.wordpress.com/tag/aku-pustakawan/.
[6]
Sayekti, Retno. 2006, Wanita dalam Sejarah Perkembangan
Kepustakaaan, [s.a], Jakarta.
[7]
Sumarningsih, Siti.2014,
Dominasi Wanita dalam Profesi Informasi, Perpustakaan Universitas Indonesia,
Jakarta.
[8] Nwezeh , Chinwe M.T. 2009. Women Librarians in Nigerian Universities: Their Status, Occupational
Characteristics.and Development. Electronic Journa; of Academic and
speciallibrarianship,v.10,n0.3.
http://southernlibrarianship.icaap.org/content/v10n03/nwezeh_c01.html
pada tanggal 29 Mei 2015 pukul 09:43 WIB.
[9] Sayekti, Retno. 2006, Wanita dalam Sejarah Perkembangan
Kepustakaaan, Jakarta.
[10]
Soedarwo, Vina Salviana
Darvina. 2010, Makna Ideologi Politik
aliran dan Ideologi Patriarkhi bagi politisi perempuan di Malang Raya (sutu
studi interaksionis interpretatif tentang posisi politisi perempuan di
Persimpangan Jalan antara liyan dan subyek), Perpustakaan Universitas
Airlangga, Hlm.8.
[11]
Nur Aisyah Usman.2012, Potret Keterwakilan Perempuan dalam
Pemerintahan Aceh,Jurnal Perempuan, Jakarta.
[12]
Sugiartati. Handayani,
Trisakti.2005. Konsep dan Teknik
Penelitian Gender, Malang : Universitas Negeri Malang, Hlm.16-17
[13]
http://www.psikologiku.com/pengertian-identitas-gender/
Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 20:07
WIB.
[14]
Ritzer,George.2003.Teori
Sosiologi Modern.Jakarta;Kencana.
[15]
Rosemarie, Putnam Tong.
2004. Feminis Thought, terjemahan
Aquarini. Yogyakarta : Jalasutra.Hlm.253-254.
[16]
Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay
Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html)
Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[17] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay
Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html)
Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[18] Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminis Thought, terjemahan Aquarini. Yogyakarta : Jalasutra. Hal
262.
[19]
Ibid. Hlm.52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar