Kamis, 03 Desember 2015

S K R I P S I



PEREMPUAN PADA PEKERJAAN PERPUSTAKAAN
(Studi tentang Eksistensi Perempuan terhadap Keberadaan liyan dan diri pada Profesi Pustakawan di Kota Surabaya)
oleh :
 
Dewi Wahyu Ningsih[1]

ABSTRACT
       Library need workers with excellent competent to serve user. Stereotipe appear that  women  according to work of  librarians and staf. Women have labeling to work of  service because gender stereotipe. Women most dominate the work of  librarian and staf. The phenomenon happened  in Indonesia and other nation. Women dominate the work of librarians and staff at the college library and public library in the city of Surabaya. 

       This research aims to determine the condition and existence of women in librarian and staff. Qualitative research tried to cover meaning dominate women of work librarians and staff. Research done in library of college and public library in the city of Surabaya. Theory of feminist exixtentialist Simone De Beauvoir used to analyze the existence of women librarians and staff in the city of Surabaya.
       The study have a conclusion that women in librarian and was occured gender stereotipe to fill women works. Women as liyan internalising a stereotipe, it occured women not freedom to choose the next and the way of her self. Not all women librarian and staff be a liyan, some women have awareness her self and the important of her work as librarians and staff. Women as self  awareness her existence not because her “a woman” but because her way.
       Result of this study were found three sypologies of women in the work of librarians and staff include: 1) self­-consciousness as women librarians, ; 2) artificial-consciousness as women librarians, ; 3) liyan-consciousness as women librarians.
Keyword: women’s librarian, liyan and self, existentialist feminism, gender stereotypes, Simone De Beauvoir.


Pendahuluan
            Profesi pustakawan telah banyak diminati oleh sebagian masyarakat. Pada umumnya yang seringkali mengisi profesi pustakawan adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan.[2] Profesi pustakawan banyak diminati oleh perempuan karena berhubungan dengan masyarakat dan pelayanan. Pustakawan sebagai sumber daya manusia dalam perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
            Profesi pustakawan dinggap sempurna apabila dikerjakan oleh perempuan.[3] Keuletan, ketelitian dan ketelatenan dibutuhkan pustakawan untuk melayani pengguna. Pustakawan dituntut untuk mengerjakan tugas rutin dan administrasi. Perempuan dianggap lemah secara fisik, sehingga menimbulkan stereotipe dalam masyarakat bahwa perempuan tidak cocok melakukan pekerjaan menyerupai bisnis,ambisi atau terbuka untuk eksperimental. Perempuan distereotipe sesuai untuk mengisi pekerjaan yang rutinitas dan pekerjaan yang berhadapan langsung dengan masyarakat luas dengan kemampuan alamiah “feminin” yang dimiliki perempuan.[4]
            Sebuah artikel dalam jurnal menjelaskan bahwa perempuan mengalami stereotipe dengan menganggap perempuan mempunyai fisik lebih lemah dari laki-laki, tetapi lebih cermat, telaten, sabar, rajin, rapi, bersih dan berpenampilan menarik, sehingga dikatakan sesuai untuk melakukan pelayanan. Perempuan mempunyai kebiasaan disiplin, rajin, rapi, bersih, tepat janji, serta berpengetahuan luas, mempunyai sikap wajar, sopan, ramah, tanggap, ulet, telaten dan sesuai untuk pekerjaan yang menuntut adanya rutinitas.[5]
            Sebuah penelitian di luar negeri menyebutkan bahwa perempuan dianggap sempurna untuk melakukan tugas-tugas feminis yang dituntut dalam bidang kepustakaan. Salome Cutler Fairchild meneliti tentang dominasi perempuan di wilayah perpustakaan di Amerika. Hasil menunjukkan dari 94 perpustakaan termasuk 54 perpustakaan umum, 6 perpustakaan rujukan, 3 perpustakaan pemerintah, 3 perpustakaan deposit dan 4 peprustakaan langganan dari 2.958 pegawai 2.024 diantaranya perempuan.[6]
            Menurut data Libary Association pada tahun 1993, 75% pustakawan dan staf adalah perempuan. Jones dan Goulding (1999) menulis bahwa perempuan membentuk tulang punggung perpustakaan dan layanan informasi.[7] Di Indonesia sendiri, dominasi perempuan di perpustakaan juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Sumarningsih (2014) tentang Dominasi Wanita dalam Profesi Informasi menunjukkan hasil bahwa pekerjaan ilmu perpustakaan dan informasi masi didominasi oleh perempuan sebanyak 75% pustakawan dan staf perpustakaan di Jakarta dalah perempuan.[8]
            Fenomena ini juga terjadi di Kota Surabaya, baik di perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum. Di Perpustakaan Umum Kota Surabaya, data dari Kabag Pembinaan menunjukkan bahwa dari 493 pegawai perpustakaan jumlah pegawai berjenis kelamin perempuan sebanyak 341 atau sebesar 69%.
Dominasi perempuan di perpustakaan tidak lain karena tugas dan fungsi yang ada di perpustakaan seperti katalogisasi, pengolahan bahan pustaka, pelayanan, pengadaan bahan pustaka, hingga sistem sirkulasi membutuhkan pengalaman dan pelayanan yang ramah, teliti, dan prima dari seorang perempuan. Perempuan dianggap mampu untuk melakukan tugas – tugas feminin yang dituntut dalam bidang kepustakaan. Posisi laki – laki dan perempuan di perpustakaan masing – masing membawa streotipe kedalam lingkungan kerja, yang dapat mempengaruhi semua aspek pekerjaan dari pengangkatan awal sampai menentukan siapa yang akan dimasukkan dalam ranking jabatan.[9]
            Perempuan yang terjun dalam pekerjaan yang mengalami “feminisasi” dan budaya patriarkis sangat dekat dengan praktik ketidakadilan dan ketimpangan gender didalamnya. Di perpustakaan sendiri hal ini ditengarai dengan dominasi perempuan di perpustakaan ternyata membuat perbedaan bidang kerja sendiri bagi perempuan dan laki-laki. Perempuan cenderung ditempatkan pada bagian front
line dan bagian pelayanan yang bertemu langsung dengan pengguna, sedangkan laki-laki ditempatkan pada bidang pekerjaan IT, pekerjaan lapangan dll. Hal ini bisa dijumpai di Perpustakaan Perguruan Tinggi dan Perpustakaan Umum Kota Surabaya.

Perempuan ketika memasuki  ranah publik termasuk profesi pustakawan  ada pelabelan yang melekat dalam diri perempuan. Perempuan mengalami pelabelan dalam bentuk stereotipe gender  ketika memasuki bidang pekerjaan perempuan cenderung diarahkan untuk mengisi bagian pelayanan. Streotipe perempuan muncul bahwasanya perempuan harus lebih bersifat ‘keperempuanan’ dan hal ini melekat dalam diri perempuan. Ketika mereka terjuan ke ruang publik pun mereka masih harus bersifat keperempuanan dan tidak sedikit yang  mengisi “pekerjaan perempuan”. Jadi tampak bahwa perempuan benar-benar sebagai liyan, menjadi yang diluar dirinya.[10] Ada pelabelan yang kuat pada diri perempuan ketika mereka masuk dalam ranah publik, pelabelan dalam bentuk stereotipe.
Ketimpangan dalam pembagian bidang kerja antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan banyak ditempatkan pada bidang pelayanan menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan yang dialami perempuan. Perempuan dimarginalisasi dalam bentuk pelabelan memilliki sifat feminin yang sesuai untuk mengisi bagian pelayanan. Perempuan mengalami pelabelan dalam bentuk stereotipe yang melekat dalam diri perempuan. Pembagian tugas yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan akan berdampak pada peniadaan ruang bagi perempuan untuk memilih dan memutuskan apa yang diinginkan.[11]
            Berdasarkan uraian data tersebut memunculkan realitas bahwa perenpuan telah mengalami stereotipe untuk   memiliki sifat yang telaten, sabar, melayani dan cenderung “feminin”, sifat perempuan ini dikontruksi oleh masyarakat bahwa sifat feminin perempuan itu sesuai untuk pekerjaan di perpustakaan, sehingga hal ini menyebabkan perempuan “tidak bebas” untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Perempuan telah mengalami streotipe untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Perempuan dekat dengan sifat femininnya yang mana sifat itu syarat dengan adanya diskriminasi yang dialami perempuan dalam segala aspek, termasuk dalam pekerjaan termasuk pelabelan sifat perempuan yang feminin dan cocok untuk pekerjaan perempuan.
Penelitian ini menjadi penting untuk diteliti karena perempuan harus terhindar dari pelabelan negatif yang dapat merugikan perempuan, perempuan sebenarnya dapat mengerjakan pekerjaan apasaja sesuai dengan pilihannya sendiri, namun karena perempuan telah terhegemoni oleh setreotipe  masyarakat. Perempuan dalam hal ini menurut Beauvoir mengalami keliyanan.. Beauvoir dalam teorinya feminis eksistensialis mengajak perempuan untuk dapat hidup bebas menentukan masa depannya secara otonom tanpa ada dorongan atau arahan dari orang lain. Beauvoir mengajak perempuan untuk menjadi diri. Perempuan harus dapat bebas mengekspresikan dirinya dalam segala aspek karena perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan perempuan bebas menentukan masa depannya sendiri tanpa dorongan dan arahan dari oranglain berarti perempuan telah berada pada eksistensinya sendiri sebagai manusia.

Fokus Penelitian
            Peneliti memusatkan perhatian pada beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  1. Apakah perempuan pada pekerjaan perpustakaan  mengalami stereotipe?
  2. Bagaimana  perempuan  mengalami setreotipe untuk menjadi liyan dan diri  pada pekerjaan pustakawan dan staf perpustakaan?
  3. Bagaimana eksistensi perempuan pustakawan dan staf perpustakaan dalam keberadaan liyan dan diri

Metode dan Prosedur Penelitian
            Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pemilihan informan menggunakan teknik non random sampling, dengan teknik pengambilan purposive sampling dilanjutkan ke snowball sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan triangulasi sumber.
 Tinjauan Pustaka
1.    Stereotipe dan Gender atas Pekerjaan Perempuan
Stereotipe adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasanya pelabelan selalu berakibat pada ketidakadian, sehingga dinamakan stereotipe negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sdah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut cantik, emosional atau keibuan.[12]
Streotipe gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang perilaku laki-laki dan perempuan. Semua streotipe baik berhubungan dengan gender, etnis atau kategori lain mengacu pada citra anggota tersebut. Banyak streotipe yang muncul dan bersifat umum sehingga menjadi ambigu, misalkan kategori maskulin dan feminin.[13]
Menurut Baron dan  Byrne (1997) stereotipe  gender mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan tertentu, mencegah promosi tertentuk untuk perempuan serta menghambat perempuan mendapatkan upah yang sama dalam pekerjaannya.
Adanya streotipe tersebut tentu saja akan muncul banyak streotipe yang dikontruksi oleh masyarakat sebagai hasil hbungan sosial tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan dirumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas., bahkan ada perempuan yang berpendidikan tinggi tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri. Akibat adanya streotipe (pelabelan) banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah merupakan kodrat.[14]

2.    Feminis Eksistensialis Simone De Beauvoir
Teori feminis telah membentuk suatu tipologi tersendiri untuk mengkaji segala permasalahan tentang perempuan sama halnya untuk menjelaskan adanya perbedaan gender. Dalam menjelaskan adanya perbedaan gender seringkali digunakan teori yang dapat mendeskripsikan, menjelaskan dan melacak implikasi bagaimana perempuan dan lelaki menjadi tidak sama dalam hal perilaku dan pengalaman. Analisis fenomenologis dan eksistensial dapat digunakan untuk mengkaji adanya perbedaan gender, utamanya yaitu terkait adanya marginalisasi perempuan sebagai Other dalam kultur yang diciptakan laki – laki.
Simone de Beaviour adalah tokoh dari feminis eksistensialisme. Beauvoir menganalisis situasi perempuan pada begitu banyak ranah (sastra, agama, politik, kerja, pendidikan) yang berbeda dan tidak memiliki sumber historis yang sebanding. Beauvoir memberikan sumbangsih pemikiran feminis tentang keliyanan perempuan.[15]
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan filosofis yang mempelajari pencarian makna seseorang dalam keberadannya (eksistensinya). Manusia yang eksis adalah manusia yang berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Berbicara mengenai makna, eksistensialisme tidak memperlakukan individu sekedar konsep, melainkan sebagai sukbyek individu yang melampaui obyeksitasnya. Eksistensialis  menjelaskan tentang eksistensi perempuan, Beaviour menggunakan bahasa ontologis dan eksistensialisme.
Dalam ranah feminisme eksistensialis hak tersebut dapat dimisalkan tidak berlakunya staus dan peran perempuan dalam masyarakat. Feminis eksistensialis memiliki kuasa penuh untuk menentukan status dan perannya sendiri dan mampu membawa perubahan dengan mendobrak tatanan nilai dan norma sosial yang telah mapan dimasyarakat.[16]
Feminis eksistensialis Beauvoir menganjurkan perempuan untuk hidup secara otentik yakni memunculkan kesadaran bahwa pada hakekatnya mereka bebas, tak terikat dengan segala aturan, hukum, nilai, norma dan streotipe yang ada. Dalam hal ini, feminis eksistensialis menilai wanita dengan mauvaise foi  (keyakinan  buruk) yaitu perempuan terjebak dalam  keyakinan yang buruk  dalam bentuk-bentuk streotipe dan cenderung menajdi inferior laki-laki.[17]
Beauvior menganalisis tentang bagaimana perempuan menjadi liyan. Beauvior menelaah perempuan tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki – laki, tetapi juga inferior terhadap laki – laki.[18]
Diskursus filosofis liyan tak terpisahkan dari eksistensi perempuan. Perempuan kerap memegang peran keduanya dalam budaya patriarki maskulinistik juga menjadi skema penyingkiran kaum perempuan secara mudah. Liyan adalah the second sex. Simone De Beauvior filosof perempuan menggagas pernyataan ini. Perempuan adalah Liyan. Menurut Simone De Beauvior perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia “dibuat demikian”, perempuan telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir melainkan “dicetak”, artinya perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah.[19]
Pemikiran Simone De Beauvior mengenai eksistensi perempuan memang berangkat dari situasi keseharian yang konkret, bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki. Menurut Beauvoir perempuan menerima ke-liyan­-an mereka sebagai mistero feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi perempuan.

Analisis dan Interpretasi Teoritik
Internalisasi Keliyanan Perempuan
            Perempuan sebagai liyan  dapat terjadi dan dilihat  dari kecenderungan yang dialami oleh perempuan ketika mengalami streotipe gender, dalam artian perempuan menginternalisaikan streotipe yang berkembang dimasyarakat dan dijadikan pedoman dalam menentukan masa depan termasuk pilihan-pilihan dalam hidupnya.
     Dalam konteks penelitian ini perempuan mendapatkan sosialisasi dari orang lain secara terus menerus tentang profesi pustakawan dan staf perpustakaan. Sosialisasi tersebut  akan turut menstimulus pilihan dan tindakan perempuan  dalam menentukan masa depannya. Proses sosialiasi yang dialami perempuan akan mempengaruhi pola pikirnya dalam menentukan pekerjaan untuk dirinya. Ketika perempuan memilih pekerjaan perpustakaan karena merasa keterbatasannya sebagai perempuan dan bukan atas kemauan secara pribadi perempuan ini telah menginternalisasi streotipe gender yang dibuat oleh masyarakat dan membuat perempuan terpaksa untuk memilih. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan sebagai liyan.
     Dalam konteks penelitian ini perempuan sebagai liyan adalah perempuan yang  tidak dapat menggariskan hidupnya sendiri, tidak bebas memilih sesuai dengan keinginannya , cenderung diarahkan dan terstreotipe oleh keluarga maupun lingkungan untuk bekerja di perpustakaan sebagai pustakawan atau staf perpustakaan.
            Adapun beberapa indikator yang dapat menjelaskan keliyanan yang dialami perempuan yakni mengalami stereotipe gender atas pekerjaan perempuan sebagai pustakawan, proses memilih dan memutuskan kuliah di perpustakaan mengalami stereotipe, memilih bekerja di perpustakaan mengalami stereotipe gender atas pekerjaan perempuan.
           
Transendensi Menjadi diri Perempuan Pustakawan
            Menurut Simone De Beauvoir kebebasan yang diberikan kepada perempuan haruslah kebebasan yang sama diberikan kepada laki-laki. Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang didasarkan pada kesadaran dalam diri sendiri.[20] Keliyanan yang dialami oleh perempuan pustakawan berdasarkan temuan data, telah mendorong perempuan memunculkan kesadaran bahwa profesi ini memang penting bagi dirinya dan bagi orang lain, bukan karena mereka perempuan, namun karena mereka merasakan bahwa perpustakaan dan profesinya adalah panggilan jiwa bagi mereka. Kesadaran mereka muncul diimbangi dengan aktualisasi mereka yang nyata dan memberi dampak kemajuan bagi perpustakaan tempat mereka bekerja. Eksistensi muncul seiring dengan kesadaran yang dialami.
            Perempuan mengalami kesadaran akan eksistensi dan keberadaan dirinya dapat diketahui melalui beberapa indikator yakni munculnya kesadaran menjadi diri perempuan pustakawan yaitu kesadaran menjadi diri perempuan pustakawan, perjuangan yang dilakukan dalam membentuk eksistensi sebagai diri perempuan pustakawan dan eksistensi perempuan pustakawan.
            Dari hasil temuan, tedapat beberapa klasifikasi tipe pustakawan dalam kesdaran pada pencarian dirinya dalam profesi Pengklasifikasian dilakukan peneliti beranjak dari data yang ditemukan dilapangan saat melakukan observasi dan wawancara secara mendalam dengan masing-masing informan, kemudian dianalisis menggunakan pisau analisa feminis eksistensialis Simone De Beauvoir.
            Transendensi keliyanan menjadi diri  dilakukan bukan dengan cara yang mudah tetapi penuh perjuangan. Perempuan sebagai diri terus menemukan arti hidupnya dengan cara melakukan perjuangan untuk mencari jatidiri menemukan makna dalam profesinya. Setelah menemukan arti dirinya dan kesadaran makna dirinya ia akan secara tulus menjalankan peranan profesinya.

Tipologi Kesadaran Perempuan Pustakawan di Surabaya
Feminis Eksistensialis
Unit Analisis
Kesadaran sebagai diri perempuan pustakawan
Kesadaran semu perempuan pustakawan
Ketidaksadaran sebagai liyan perempuan pustakawan
Internalisasi Keliyanan
1.   Mengalami streotipe gender
Tidak mengalami streotipe gender. Berpikir secara obyektif bahawa perempuan dan laki-laki bisa saja bekerja di perpustakaan tergantung kapasitas, kemampuan dan kualitas individu.
Mengalami streotipe gender, sehingga ada pandangan perempuan memang sesuai untuk bekerja di perpustakaan yang berkaitan dengan pelayanan.
Mengalami streotipe gender. Pustakawan pada tipe ini, berpadangan bahwa perempuan sesuai untuk pekerjaan di perpustakaan karena berkaitan dengan pelayanan.

2.    Proses memilih  kuliah di perpustakaan : mengalami streotipe
Menentukan kuliah di jurusan ini karena ada dorongan dari keluarga. Pustakawan dalam tipe ini mengalami paksaan untuk kuliah di jurusan perpustakaan.
Menentukan kuliah di jurusan perpustakaan karena adanya dorongan dari keluarga, dan karena paksaan (setengah hati).
Menentukan kuliah di jurusan perpustakaan karena adanya dorongan dari keluarga dan terstreotipe untuk kuliah di perpustakaan



.
3.  Memilih bekerja di perpustakaan : mengalami streotipe gender atas pekerjaan perempuan.
Memilih bekerja di perpustakaan karena selinier dengan jurusan yang diambil ketika kuliah. Perempuan dalam tipe ini mempunyai pertimbangan prospek yang bagus dari pekerjaan perpustakaan.
Memilih bekerja di perpustakaan karena selinier dengan jurusan yang diambil ketika kuliah.
Memilih bekerja di perpustakaan karena pekerjaan itu sesuai untuk perempuan yang berkaitan dengan pelayanan. Perempuan sesuai untuk pekerjaan yang menuntut rutinitas dan pelayanan.
Transendensi Diri
1.  Kesadaran Menjadi Diri Perempuan Pustakawan
Mengalami kesadaran spiritual  menjadi diri perempuan pustakawan. Menyadari bahwa profesinya adalah panggilan jiwa dan garis hidup yang ditetapkan Tuhan untuk dirinya. kesadaran yang dialami adalah kesadaran yang utuh dari dalam dirinya sendiri.
Mengalami kesadaran yang semu dan bersifat sementara. Ada kesadaran hanya sesaat dan terkadang. Dalam ruang kesadarannyperempuan ini masih mengalami stereotipe gender dan memandang dirinya sesuai untuk pekerjaannya karena ia perempuan. Ada kemauan untuk mengupgrade kemampuan dan aktif dalam berbagai kegiatan namun hanya terkadang dan cenderung angin-anginan dalam melakukan suatu tindakan.
Belum mengalami kesadaran akan pentingnya profesinya dan keberadaaan dirinya di perpustakaan.

2.  Perjuangan menjadi diri perempuan pustakawan
Melakukan inovasi dan upgrading diri untuk mencari jati dirinya.
Melakukan perjuangan dengan aktif dalam berbagai kegiatan di bidang kepustakawanan. Memberikan inovasi bagi kemajuan perpustakaan.
Tidak melakukan perjuangan untuk mencari jati dirinya karena bekerja hanya terjebak dalam ruang rutinitas pekerjaan.
3.  Eksistensi Perempuan Pustakawan
Aktif dalam kegiatan diluar konteks pekerjaannya sebagai pustakawan. Aktif dalam kegiatan organisasi, aktif menulis, aktif berkomunitas.
Kesadaran yang dialami bersifat sementara sehingga ruang eksistensi yang dibuat juga terkadang. Cenderung moody untuk melakukan kegiatan tergantung suasana hati. Beraktualisasi apabila ada yang mendorong dan memotivasi.
Belum melakukan aktualisasi diri yang menyebabkan dirinya menjadi eksis. Pustakawan dalam tipe ini terjebak dalam ruang rutinitas pekerjaan tanpa ada ruang aktualisasi diri.
Sumber : Temuan data peneliti



Pemisahan Jenis Kelamin dan Bidang Kerja: (Relasi antara Perempuan dan laki-laki di Perpustakaan)
            Perempuan dan laki-laki ketika memasuki dunia pekerjaan membawa stereotipe tersendiri kedalamnya. Perempuan mengalami stereotipe yang melekat pada diri perempuan ketika akan memasuki ranah publik, tidak hanya disitu ketika mereka telah berada di ranah publik ada stereotipe yang juga melekat dan membuat mereka mengalami diskriminasi dalam bentuk pemisahan bidang kerja. Di perpustakaan memang terdapat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Perempuan cenderung mengisi pekerjaan pelayanan dan laki-laki ditempatkan pada pekerjaan lapangan dan berhubungan dengan fisik yang kuat dan kecanggihan teknologi.
Saran
  1.             Bagi perpustakaan yang ada di Kota Surabaya dalam menempatkan staf dan pegawai tidak melihat dari gender tetapi lebih melihat kapasitas, kekampuan dan kualitas yang ada pada masing-masing individu. Selain itu perlu penyeimbangan antara pegawai perempuan dan laki-laki sehingga tidak terjadi dominasi diantara keduanya. Selain itu, di perpustakaan perlu diberikan pelatihan, whorkshop, dan motivasi agar pustakawan mempunyai motivasi diri bahwa pekerjaan pustakawan penting bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Pemberian upgrading harus secara menyeluruh dan continoue diberikan kepada pustakawan. Agar pustakawan dapat berkembang skillI menjadi lebih baik.
  2. Bagi pemerintah, penetapan mengenai Undang-Undang perpustakaan perlu direvisi kembali mengenai bentuk layanan ideal. Layanan ideal harus secara jelas tertulis. Selain itu pemerintah harus menerapkan sistem ketenagakerjaan yang lebih humanis.
  3. Bagi masyarakat, agar masyarakat tidak lagi menstreotipkan bahwa perempuan dan laki-laki berdasarkan gender. Namun masyarakat harus bisa menilai dan melihat suatu hal secara objectif. Agar masyarakat tidak lagi menstreotipkan bahwa perempuanlah yang seusai untuk mengisi pekerjaan perpustakaan. Namun melihat kepada kapasitas individu masing-masing baik laki-laki ataupun perempuan.
  4. Bagi Pustakawan
·         Pustakawan harus memiliki kesadaran penuh bahwa ia dalam profesinya mempunyai peranan yang penting bagi masyarakat dalam upaya pembangunan bangsa. Pustakawan harus mampu membawa kemajuan pada dunia perpustakaan Pustakawan harus mempunyai kebanggaan atas profesinya sehingga pustakawan dapat berkembang dalam dunia kepustakawanannya.
·         Bagi calon pustakawan yang sekarang sedang menempuh pendidikan perpustakaan. Seharusnya ketika memutuskan untuk bekerja di perpustakaan  dan menjadi seorang pustakawan bukanlah karena dorongan ataupun arahan dari orang lain sekalipu keluarga karena pekerjaan adalah sebuah pilihan dari masing-masing individu. Ketika seseorang bekerja tanpa paksaan dan dengan didasari kesadaran yang penuh akan pentingnya sebuah profesi suatu pekerjaan maka pekerjaan yang dilakukan akan maksimal dan membawa dampak perubahan karena mengerjakannya dengan sepenuh hati.
·         Bagi perempuan yang ingin berprofesi pustakawan. Jangan sampai memutuskan berprofesi sebagai pustakawan karena paksaan terlebih karena terstreotipe bahwa perpustakaan sesuai dengan karakter perempuan. Sebenarnya banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh perempuan tanpa melihat gender. Ketika perempuan memutuskan untuk bekerja sebagai pustakawan harus berdasarkan kesadaran dirinya sendiri. Sehingga kualitaslah yang akan membuktikan jika menjadi pustakawan karena kesadaran. 
Daftar Pustaka
Buku
Moleong, Lexy J..2010.  Metode Penelitian Kualitatif.  Bandung;  Remaja Rosdakarya.
Ollenburger, Jane C dan Moore, Helen A. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta : Rineka Cipta.
Ritzer, George.2003, Toeri Sosiologi Modern;Teori Feminisme Modern, Jakarta : Kencana.
Sugiyono.2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.
Sugiartati. Handayani, Trisakti.2005. Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang : Universitas Negeri Malang.
Sulistyo-Basuki.1991. Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama.
Thornam, Sue.2010.Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra.
Tong, Rosemarie Putnam.2004.  Feminis Thought. Jakarta : Jalasutra.
Yusup M. Pawit.2009. Ilmu Informasi, komunikasi dan kepustakaan.  Jakarta: Bumi Aksara.
Riyanto, Armada.2011. Aku & Liyan, Malang : Widya Sasana Publication.
Jurnal
Heryanti, Nurma. 1996. Wanita Lebih Telaten, Cermat, Ulet dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan di Perpustakaan. FKP2T.
Sayekti, Retno. 2006. Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan. Jakarta: [s.a].

Jurnal Online
Fidaus, Akhol. 2006. Teks Kartini, Teks Liyan. Media Perempuan Multikultural Srintil dalam (http://srinthil.org/387/teks-kartini-teks-lyan/) diakses pada tanggal 22 April 2015 pukul 16:17.

Skripsi
Sumarningsih, Siti.2014. Dominasi Wanita dalam Profesi Informasi. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia.
Fitriani, Dian Novita.2014. Penjiwaan Profesi Pustakawan ( Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Sosial Pustakawan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya Terhadap Profesi Pustakawan . Surabaya : Perpustakaan Universitas Airlangga.

Disertasi
Soedarwo, Vina Salviana Darvina.2012. Makna Ideologi Politik aliran dan Ideologi Patriarkhi bagi Politisi Perempuan di Malang Raya. Surabaya : Perpustakaan Universitas Airlangga.

Website :
https://sisilainpustakawan.wordpress.com/tag/aku-pustakawan/ diakses pada tanggal 19 April 2015 pukul 17:19.
https://www.academia.edu/4445402/makalah_feminisme (makalah feminisme) (Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pada pukul 17:05).

http://dks-news.blogspot.com/2011/01/perempuan-dalam-jejak-jejak.html (Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pada pukul 17:40 WIB.



[1] Korespondensi: Dewi Wahyu Ningsih 071116014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Universitas Airlangga
[2] Khusyairi, Johny Alfian. 2005. Potret Pustakawati dalam Otomasi Perpustakaan. Surabaya : Jurnal penelitian Dinamika Sosial LPUA Vol.6 No.1. Hal 11-20.
[3] Sayekti, Retno. 2006. Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan. Jakarta.: [s.a].
[4] Sayekti, Retno. 2006, Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan, [s.a], Jakarta.
[6] Sayekti, Retno. 2006, Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan, [s.a], Jakarta.
[7] Sumarningsih, Siti.2014, Dominasi Wanita dalam Profesi Informasi, Perpustakaan Universitas Indonesia, Jakarta.
[8] Nwezeh , Chinwe M.T. 2009. Women Librarians in Nigerian Universities: Their Status, Occupational Characteristics.and Development. Electronic Journa; of Academic and speciallibrarianship,v.10,n0.3.
[9] Sayekti, Retno. 2006, Wanita dalam Sejarah Perkembangan Kepustakaaan, Jakarta.
[10] Soedarwo, Vina Salviana Darvina. 2010, Makna Ideologi Politik aliran dan Ideologi Patriarkhi bagi politisi perempuan di Malang Raya (sutu studi interaksionis interpretatif tentang posisi politisi perempuan di Persimpangan Jalan antara liyan dan subyek), Perpustakaan Universitas Airlangga, Hlm.8.

[11] Nur Aisyah Usman.2012, Potret Keterwakilan Perempuan dalam Pemerintahan Aceh,Jurnal Perempuan, Jakarta.
[12] Sugiartati. Handayani, Trisakti.2005. Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang : Universitas Negeri Malang, Hlm.16-17
[13] http://www.psikologiku.com/pengertian-identitas-gender/ Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 20:07 WIB.
[14] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.Jakarta;Kencana.
[15] Rosemarie, Putnam Tong. 2004. Feminis Thought, terjemahan Aquarini. Yogyakarta : Jalasutra.Hlm.253-254.
[16] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html) Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[17] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html) Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[18] Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminis Thought, terjemahan Aquarini. Yogyakarta : Jalasutra. Hal 262.
[19] Ibid. Hlm.52.
[20] Riyanto, Armada.2011. Aku & Liyan, Malang : Widya Sasana Publication.Hlm.110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar