Feminis Eksistensialisme Simone De Beaviour
![]() |
sumber http://quotes.lifehack.org |
Teori feminis adalah
sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan
sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang
terpusat pada perempuan[1].
Ada tiga hal yang menjadi pusat teori ini, yaitu (1) saasaran utama
studi ini adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat, (2)
proses penelitian, menjadikan perempuan sebagai subyek utama, dan
menggunakan sudut pandang perempuan terhadap dunia sosial, (3)
dikembangkan oleh teori kritis dan aktivis demi kepentingan perempuan,
untuk menciptakan kehidupan perempuan yang lebih baik dan untuk
kemanusiaan.
Teori ini memang berbeda dengan teori sosiologi karena
dalam teori ini mempunyai fokus utama pada perempuan dan teori ini juga
berasal dari pemikiran komunitas interdisipliner.
Teori feminis sejalan dengan pemikiran
teori kritis, dalam teori sosial kritis mempelajari bidang – bidang
pengetahuan yang secara aktif bergulat dengan persoalan sentral yang
dihadapi kelompok orang yang berada ditempat yang berbeda dalam konteks
politik, sosial, dan sejarah yang dicirikan oleh ketidakadilan. Sama
halnya dengan teori feminis yang bertujuan untuk memberikan pencerahan
dan kesetaraan bagi kaum perempuan dalam pencapaian kehidupan yang lebih
baik, dalam konteks politik (posisi/jabatan publik), sosial (kesetaraan
gender, diakui dalam masyarakat) dan dari sejarah ketidakadilan
ataupun penindasan yang dialami perempuan.
Teori feminis telah membentuk suatu
tipologi tersendiri untuk mengkaji segala permasalahan tentang
perempuan. Sama halnya untuk menjelaskan adanya perbedaan gender,
variasi mendasar teori feminis menjawab pertanyaan deskriptif “Apa peran
perempuan?” terkait posisi perempuan dan pengalamannya di dalam
kebanyakan situasi yang berbeda dengan laki – laki. Adanya teori
feminis eksistensi dan fenomenologi yang kemudian berusaha menjawab
“Mengapa situasi perempuan seperti itu?”.
Untuk menjelaskan adanya perbedaan
gender seringkali digunakan teori yang dapat mendeskripsikan,
menjelaskan dan melacak implikasi bagaimana perempuan dan lelaki menjadi
tidak sama dalam hal perilaku dan pengalaman. Analisis fenomenologis
dan eksistensial dapat digunakan untuk mengkaji adanya perbedaan gender,
utamanya yaitu terkait adanya marginalisasi perempuan sebagai Other dalam kultur yang diciptakan laki – laki. Perbedaan
perempuan dengan laki – laki sebagian besar berasal dari fakta
kontruksi sosial yang meminggirkan perempuan dan sebagian dari
internalisasi diri “Otherness”. Pertanyaan yang krusial terkait
hal itu, adalah apakah perempuan dapat membebaskan dirinya dari status
obyek / orang lain dan apakah pembebasan itu mereka harus menjadi
seperti laki- laki atau dapat mencapai subjektivitas yang berbeda. Ada
kultur yang berkembang yang diciptakan laki – laki sehingga
mengasumsikan pria sebagai subyek, dan memposisikan perempuan sebagai
obyek, bahkan mampu mengkontruksi perempuan sebagai “orang lain” (other).
Simone de Beaviour adalah tokoh dari feminis eksistensialisme. Dalam bukunya The second sex, Beauvior
menjelaskan telah terjadi ketidakefektifan historis perempuan, bahwa
tidak dimilikinya sumber teoritis yang sebanding untuk dapat
menstimulasi dalam menganalisis dan terus mempertanyakan situasi sebagai
perempuan pada begitu banyak ranah (sastra, agama, politik, kerja,
pendidikan). The second sex merupakan pemikiran feminis
klasik. Karya beaviour ini telah memberikan sumbangsih terhadap
pemikiran feminis tentang ke-Liyanan perempuan.
Sejarah pemikiran Beauvior tidak lepas dari sejarah pemikiran Sartre, yang tidak lain adalah kekasih dan mentor Beauvior. The second sex
merupakan teks eksistensialis, Beaviour banyak menggunakan istilah yang
digunakan Sartre, dengan memodifikasi makna agar dapat sesuai dengan
agenda feminisnya. Sartre sendiri mempopulerkan tubuh ide yang berakar
dari filsafat G.W.F Hegel. Poin yang paling penting dari ide ini adalah
penggambaran Hegel mengenai psike sebagai “jiwa yang teralienasi
sendiri”. Hegel melihat bahwa kesadaran berada dalam alinea yang
terbagi. Di satu sisi, ada ego yang mengamati dan ego yang diamati. [2]
Sartre membuat perbedaan antara pengamat
dan diamati dengan membagi diri kedalam tiga bagian yaitu, Ada untuk
dirinya sendiri (pour –soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi), Ada
untuk yang lain. Sartre lebih sering menggambarkan secara negative
yaitu Ada dengan melibatkan “konflik personal karena setiap Ada untuk
dirinya sendiri berusaha menemukan Ada-nya sendiri dengan secara
langsung atau tidak langsung menjadikan yang lain sebagai objek.[3]
Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya sebagai
subyek, sebagai Diri, tepat dengan mendefenisi ada Liyan. Dalam
eksistensialisme untuk perempuan, Beauvior mengemukakan bahwa laki –
laki “Sang Diri”, sedangkan perempuan “Sang Liyan”.
Eksistensi menurut Sartre mendahului
esensi. Manusia harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun
tanpa penentuan yang otoritef, manusia harus memilih. Pengambilan
keputusan ini berkaitan erat dengan penentuan esensi dari manusia itu
sendiri. Jadi manusia adalah individu yang lebih dulu berseksistensi
kemudian ia sendiri menentukan esensinya dengan membuat pilihan –
pilihan bebas atas berbagai kemungkinan yang dihadapinya. Sartre
menegaskan bahwa tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan tindakan
dengan cara apapun juga secara mutlak manusia bebas.
Dalam proses transformasi dari masa
lalu, kini dan masa depan manusia bebas menentukan pilihannya sendiri
untuk menjadi eksis dalam dirinya. Begitu juga ketika memilih satu
pilihan untuk diri kita, secara terus menerus menghilangkan kemungkinan
Liyan. Ada beban psike yang dialami seperti ketakutan, ketidakberdayaan,
dalam melakukan keputusan tentang diri sendiri. Sartre mengkategorikan
hal tersebut sebagai “bad faith” yaitu suatu keadaan yang dekat dengan penipuan diri, kesadaran semu, atau delusi. Sartre menganalisis jenis “bad faith”
yang paling tipikal adalah menyembunyikan diri dalam peran yang
tampaknya tidak memberikan ruang untuk melakukan pilihan. Tujuan “bad faith” adalah untuk melarikan dari kondisi buruk.
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan
filosofis yang mempelajari pencarian makna seseorang dalam
keberadaannya (eksistensinya). Manusia yang eksis adalah manusia yang
terus berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Karena berbicara
mengenai makna, eksistensialisme tidak memperlakukan individu sebagai
sekedar konsep, melainkan menghargai subyektivitas individu jauh
melampaui obyektivitasnya. Jika kebebasan mempunyai makna, maka
kebebasan haruslah bertanggung jawab terhadap tindakan yang dipilih
untuk dilakukan, dengan menyadari bahwa selalu ada ruang untuk mengambil
pilihan, bagaimanapun terbatasnya situasi yang dihadapinya. Manusia
bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya. Penentuan ini
dilakukan dengan membuat pilihan – pilihan. Akan tetapi, kebebasan
membuat pilihan ini disertai rasa takut yang mendalam, karena dengan
pilihan itu manusia menyatakan tanggung jawabnya bukan terhadap
dirinya sendiri tetapi juga terhadap orang lain. Sartre menjelaskan,
karena manusia mula – mula sadar bahwa ia “ada”, itu berarti manusia
menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat
begitu.
Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia.[4]
Bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari
bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia bertanggung
jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang, dan pada saat itu
pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab
menyeluruh. Dari semua kategori Sartre, Ada yang paling tepat untuk
diterapkan dalam analisis feminis adalah hubungan antar manusia, variasi
dari dua bentuk dasar tema konflik. Konflik antara kesadaran yang
saling bersaing yaitu Diri (sang laki – laki) dan Liyan (sang
perempuan).
Manusia adalah bukan apa-apa selain apa
yang ia buat dari dirinya sendiri. Ia memiliki makna terdalam mengenai
eksistensi dalam dirinya. Manusia mempunyai hak yang sama di dalam
masyarakat. Hak yang sama adalah kebebasan. Menurut Simone De Beauvior,
kebebasan yang diberikan kepada perempuan harus sama dengan kebebasan
yang diberikan kepada laki-laki. Kebebasan yang sejati adalah kebebasan
yang didasarkan pada kesadaran dalam diri sendiri.[5]
Pada hakekatnya manusia adalah
bebas, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Konsekuensi adanya
kekebasan adalah tidak berlakunya berbagai aturan, nilai dan norma bagi
dirinya. Dalam ranah feminisme eksistensialis hak tersebut dapat
dimisalkan tidak berlakunya staus dan peran perempuan dalam masyarakat.
Feminis eksistensialis memiliki kuasa penuh untuk menentukan status dan
perannya sendiri dan mampu membawa perubahan dengan mendobrak tatanan
nilai dan norma sosial yang telah mapan dimasyarakat.[6]
Eksistensialisme untuk Perempuan
Layaknya eksistensialis Sartre, feminis
eksistensialis Beauvoir menganjurkan perempuan untuk hidup secara
otentik yakni memunculkan kesadaran bahwa pada hakekatnya mereka bebas,
tak terikat dengan segala aturan, hukum, nilai, norma dan streotipe yang
ada. Dalam hal ini, feminis eksistensialis menilai wanita dengan mauvaise foi (keyakinan
buruk) yaitu perempuan terjebak dalam keyakinan yang buruk dalam
bentuk-bentuk streotipe dan cenderung menajdi inferior laki-laki.[7]
Eksistensialis menjelaskan tentang
eksistensi perempuan, Beaviour menggunakan bahasa ontologis dan
eksistensialisme. Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang
“ada”. Sedangkan eksistensialisme, yaitu gerakan filosopis yang
mempelajari pencaian makna seseorang dalam keberadaanya (eksistensi).[8]
Jika Sartre mengatakan bahwa Liyan adalah ancaman bagi diri, maka
perempuan adalah ancaman bagi laki – laki karena dalam konsep
eksistensialisme Beauvior Liyan (sang perempuan) dan Diri (sang
laki-laki). Jika laki – laki ingin tetap bebas, ia harus mengsubordinasi
perempuan.
Beauvior menganalisis tentang bagaimana
perempuan menjadi liyan. Beauvior menelaah perempuan tidak hanya berbeda
dan terpisah dari laki – laki, tetapi juga inferior terhadap laki –
laki. Perempuan adalah Ada untuk dirinya sebagaimana ia juga adalah Ada
dalam dirinya, harus dicari tahu penyebab dam alasan diluar hal –hal
yang diarahkan secara biologis dan fisiologis perempuan, untuk
menjelaskan mengapa masyarakat memilih perempuan untuk menjadi Liyan.
Menurut Engels, jenis pekerjaan seharusnya dibagi bukan berdasarkan
gender, tetapi berdasarkan kemampuan, kesiapan, dan kebersediaan
seseorang untuk melakukan pekerjaan tersebut. Perempuan pekerja secara
terus menerus, dan dimanapun berada diharuskan untuk menjadi dan
bersikap sebagai perempuan. Disamping tugas profesionalnya, seorang
perempuan pekerja diharuskan untuk melakukan pekerjaan yang
diimplikasikan oleh “feminitasnya”, yang mana bagi masyarakat berarti
kewajiban untuk berpenampilan yang menyenangkan.
Setiap perempuan harus dapat
menggariskan nasibnya sendiri, hal ini harus dapat dimengerti dengan
hati –hati. Perempuan dapat terikat dan terhambat oleh situasi – situasi
(huku, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan) yang dapat menghambat
kebebasan dan eksistensi perempuan. Beaviour bersikeras bahwa tidak ada
satupun yang dapat membatasi dan memenjarakan perempuan secara total.
Perempuan menentukan nasibnya sendiri, pada saat yang sama, perempuan
akan lepas dari patriarki, ketika menentukan nasibnya sendiri. Perempuan
harus membuat keputusan untuk melepaskan diri atau bertahan dengan
harus menghadapi tingkat hambatan yang berbeda. Tidak ada seorang pun
atau sesuatu pun yang dapat menghambat perempuan yang berketetapan hati
untuk maju.
Perempuan dan “Liyan”
Diskursus filosofis liyan tak terpisahkan dari eksistensi perempuan. Dalam sejarah peradaban manusia, perempuan kerap memegang peran keduanya, dipandang protagonis dan diperlakukan sebagai antagonis,
perempuan berada dalam pengalaman eksistensial subyek sekaligus obyek
dalam societas, perempuan dalam kesehariannya dipuja dan ditindas.
Ratifikasi perundang-undangan kerap menceburkan perempuan dalam kubangan
ketidakpastian mengenai hak-hak atas tubuh dan eksistensinya. Budaya
patriarki maskulinistik juga menjado skema penyingkiran kaum perempuan
secara mudah dari kancah partisipasi politik yang lebih pasti.
Liyan adalah the second sex. Simone De Beauvior filosof perempuan menggagas pernyataan ini. Perempuan adalah Liyan. Perempuan disebut demikian karena sex. The second sex bukan
kategori psikologis, juga bukan kategori sosiologis, bukan pula
antropologis, tetapi masuk kategori ontologis keseharian dan
transendental. Liyan (other) adalah konsep ontologis etis. Dalam liyan dipertaruhkan nilai keluhuran manusia. Dalam bukunya The second sex Simone De Beauvior menulis “One is not born, but made a woman”. Menurut Simone De Beauvior
perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia “dibuat demikian”,
perempuan telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir melainkan
“dicetak”, artinya perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak
dari segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah.
Analisa de Beauvoir menegur
kita. Perempuan telah cukup lama berada dalam keterkungkungan.
Pendidikan pun, seolah bukan hak mereka. Kebebasan dan otonomonitas
menjadi barang terlarang. Perempuan sebagai liyan tidak saja
terjadi pada zaman Kartini, tetapi juga saat ini ketika dirinya
“digembok” dalam kungkungan kultur maskulinistik. “Kami perempuan, wajib
menurut dan menyerah.. Kami terantai dalam adat istiadat kami.. Kami
tidak boleh punya cita-cita mandiri. Kami harus seperti tanah liat yang
dapat dibentuk sekehendak hati orang lain!” (Surat Kartini Kepada Ny.
Ovink-Soer, Agustus 1900). Budaya patriarkhis memberi kebebasan pada
lakilaki untuk menjadikan perempuan sebagai liyan.[9]
Bagi Simone De Beauvior
menjadi manusia bebas adalah menjadi subyek. Beauvior berpendapat
perempuan sangat berbeda dengan laki –laki. Perempuan dalam kenyataanya
tidak memiliki otonomi untuk berpikir melainkan hanya keraguan akan
dirinya. Masyarakat melihat bahwa perempuan itu adalah lemah, tidak
penting, hanya pelengkap, pembantu, perempuan layak dibelakang. Beauvoir
menempatkan perempuan sebagai liyan , menurutnya hal ini
banyak dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan melalui penciptaan mitos
tentang perempuan yang irasionalitas, kompleksitas dan perempuan sulit
dimengerti, dan perempuan tercipta unttuk menjadi pelengkap laki-laki.[10]
Beauvoir menyatakan bahwa peran sosial sejalan dengan mekanisme utama yang digunakan oleh diri, subyek, untuk menguasai liyan, objek. Menurut Beauvoir perempuan menerima ke-liyan-an mereka
sebagai mistero feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi
melalui sosialisasi perempuan. Contohnya, peran sebagai istri membatasi
kebebasan perempuan. Beauvoir ingin membuktikan bahwa perempuan terjebak
pada peran feminis sebagai obyek, sebagai liyan, bukan subyek yang sesungguhnya.
Pemikiran Simone De
Beauvior mengenai eksistensi perempuan memang berangkat dari situasi
keseharian yang konkret, bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki.
Berangkat dari situasi itu, laki-laki memandang perempuan hanya sebagai
yang “diluar” dirinya, tidak menjadi satu bagian sebagai manusia.
Perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan
referensi kepada dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah
insidental semata, tidak esensial. Laki-laki adalah subyek, sedangkan
perempuan adalah orang lain atau liyan.[11] Gagasan liyan Simone De Beauvior ini sebenarnya pararel dengan gagasan Sartre yang memberikan penjelasan mengenai sikap orang terhadap liyan, yakni ketidakpedulian, kebencian, bertindak sadis. Beauvior mendeskripsikan sikap kepada perempuan sebagai liyan dengan bentuk penindasan, pengucilan, pengasingan, dan tindakan kekerasan kepada perempuan.[12]
[1] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.(Jakarta;Kencana,hlm.403).
[2] G.W.F Hegel.1967, The Phenomenology of Mind, New York, Harper & Row.
[3] Sartre, Jean Paul.1947, Existensialism, New York, Philosophical Library, hlm. 364.
[4] Tafsir, Ahmad. 2011, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung, PT. Remaja Rosdakary, hlm. 226-227.
[5] Riyanto, Armada. 2011, Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap, Widya Sasana Publication, Malang, Hlm.115.
[6] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html) Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[7] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html) Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[8] (https://esterlianawati.wordpress.com/2007/07/16/feminisme-eksistensialisme-sebuah-tinjauan-dan-refleksi/ )
[9] Riyanto, Armada. 2011, Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap, Widya Sasana Publication, Malang, Hlm.55.
[10] Rosemarie, Putnam Tong. 2004, Feminis Thought, terjemahan Aquarini, Yogyakarta : Jalasutra, hal 265-266.
[11] Beauvior, De Simone. 2004, The Second sex dalam buku A Passion for wisdom , Upper Saddle River, New Jersey, Hlm.568.
[12] Riyanto, Armada. 2011, Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap, Widya Sasana Publication, Malang, Hlm.104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar