Rabu, 09 Desember 2015

Pergulatan perempuan & liyan dari sudut pandang feminis eksistensialis dan sartrean

Feminis Eksistensialisme Simone De Beaviour
sumber  http://quotes.lifehack.org

            Teori  feminis adalah  sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan[1]. Ada tiga hal yang menjadi pusat teori ini, yaitu (1) saasaran utama studi ini adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat, (2) proses penelitian, menjadikan perempuan sebagai subyek utama, dan menggunakan sudut pandang perempuan terhadap dunia sosial, (3) dikembangkan oleh teori kritis dan aktivis demi kepentingan perempuan, untuk menciptakan kehidupan perempuan yang lebih baik dan untuk kemanusiaan.
Teori ini memang berbeda dengan teori sosiologi karena dalam teori ini mempunyai fokus utama pada perempuan dan teori ini juga berasal dari pemikiran komunitas interdisipliner.
Teori feminis sejalan dengan pemikiran teori kritis, dalam teori sosial kritis mempelajari  bidang – bidang pengetahuan yang secara aktif bergulat dengan persoalan sentral yang dihadapi kelompok orang yang berada ditempat yang berbeda dalam konteks politik, sosial, dan sejarah yang dicirikan oleh ketidakadilan. Sama halnya dengan teori feminis yang bertujuan untuk memberikan pencerahan dan kesetaraan bagi kaum perempuan dalam pencapaian kehidupan yang lebih baik, dalam konteks politik (posisi/jabatan publik), sosial (kesetaraan gender, diakui dalam masyarakat) dan dari sejarah ketidakadilan ataupun  penindasan yang dialami perempuan.
Teori feminis telah membentuk suatu tipologi tersendiri untuk mengkaji segala permasalahan tentang perempuan. Sama halnya untuk menjelaskan adanya perbedaan gender, variasi mendasar teori feminis menjawab pertanyaan deskriptif “Apa peran perempuan?” terkait posisi perempuan dan pengalamannya di dalam kebanyakan situasi yang berbeda dengan laki – laki. Adanya  teori feminis eksistensi dan fenomenologi yang kemudian berusaha menjawab “Mengapa situasi perempuan seperti itu?”.
Untuk menjelaskan adanya perbedaan gender seringkali digunakan teori yang dapat mendeskripsikan, menjelaskan dan melacak implikasi bagaimana perempuan dan lelaki menjadi tidak sama dalam hal perilaku dan pengalaman. Analisis fenomenologis dan eksistensial dapat digunakan untuk mengkaji adanya perbedaan gender, utamanya yaitu terkait adanya marginalisasi perempuan sebagai Other dalam kultur yang diciptakan laki – laki.  Perbedaan perempuan dengan laki – laki sebagian besar berasal dari fakta kontruksi sosial yang meminggirkan perempuan dan sebagian dari internalisasi diri “Otherness”. Pertanyaan yang krusial terkait hal itu, adalah apakah perempuan dapat membebaskan dirinya dari status obyek / orang lain dan apakah pembebasan itu mereka harus menjadi seperti laki- laki atau dapat mencapai subjektivitas yang berbeda. Ada kultur yang berkembang yang diciptakan laki – laki sehingga mengasumsikan pria sebagai subyek, dan memposisikan perempuan sebagai obyek, bahkan mampu mengkontruksi perempuan sebagai “orang lain” (other).
Simone de Beaviour adalah tokoh dari feminis eksistensialisme. Dalam  bukunya The second sex, Beauvior menjelaskan telah terjadi ketidakefektifan historis perempuan, bahwa tidak dimilikinya sumber teoritis yang sebanding untuk dapat menstimulasi dalam menganalisis dan terus mempertanyakan situasi sebagai perempuan pada begitu banyak ranah (sastra, agama, politik, kerja, pendidikan). The second sex  merupakan pemikiran feminis klasik. Karya beaviour ini telah memberikan sumbangsih terhadap pemikiran feminis tentang ke-Liyanan perempuan.
Sejarah pemikiran Beauvior tidak lepas dari sejarah pemikiran Sartre, yang tidak lain adalah kekasih dan mentor Beauvior. The second sex merupakan teks eksistensialis, Beaviour banyak menggunakan istilah yang digunakan Sartre, dengan memodifikasi makna agar dapat sesuai dengan agenda feminisnya. Sartre sendiri mempopulerkan tubuh ide yang berakar dari filsafat G.W.F Hegel. Poin yang paling penting dari ide ini adalah penggambaran Hegel mengenai psike sebagai “jiwa yang teralienasi sendiri”. Hegel melihat bahwa kesadaran berada dalam alinea yang terbagi. Di satu sisi, ada ego yang mengamati dan ego yang diamati. [2]
Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan diamati dengan membagi diri kedalam tiga bagian yaitu, Ada untuk dirinya sendiri (pour –soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi), Ada untuk yang lain.  Sartre lebih sering menggambarkan secara negative yaitu Ada dengan melibatkan “konflik personal karena setiap Ada untuk dirinya sendiri berusaha menemukan Ada-nya sendiri dengan secara langsung atau tidak langsung menjadikan yang lain sebagai objek.[3] Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya sebagai subyek, sebagai Diri, tepat dengan mendefenisi ada Liyan. Dalam eksistensialisme untuk perempuan, Beauvior mengemukakan bahwa laki – laki “Sang Diri”, sedangkan perempuan “Sang Liyan”.
Eksistensi menurut Sartre mendahului esensi. Manusia harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun  tanpa penentuan yang otoritef, manusia harus memilih. Pengambilan keputusan ini berkaitan erat dengan penentuan esensi dari manusia itu sendiri. Jadi manusia adalah individu yang lebih dulu berseksistensi kemudian ia sendiri menentukan esensinya dengan membuat pilihan – pilihan bebas atas berbagai kemungkinan yang dihadapinya. Sartre menegaskan bahwa tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan tindakan dengan cara apapun juga secara mutlak manusia bebas.
Dalam proses transformasi dari masa lalu, kini dan masa depan manusia bebas menentukan pilihannya sendiri untuk menjadi eksis dalam dirinya. Begitu juga ketika memilih satu pilihan untuk diri kita, secara terus menerus menghilangkan kemungkinan Liyan. Ada beban psike yang dialami seperti ketakutan, ketidakberdayaan, dalam melakukan keputusan tentang diri sendiri. Sartre mengkategorikan hal tersebut sebagai “bad faith” yaitu suatu keadaan yang dekat dengan penipuan diri, kesadaran semu, atau delusi. Sartre menganalisis jenis “bad faith” yang paling tipikal adalah  menyembunyikan diri dalam  peran yang tampaknya tidak memberikan  ruang  untuk  melakukan  pilihan. Tujuan “bad faith” adalah untuk melarikan dari kondisi buruk.
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan filosofis yang mempelajari pencarian makna seseorang dalam keberadaannya (eksistensinya). Manusia yang eksis adalah manusia yang terus berusaha mencari makna dalam kehidupannya. Karena berbicara mengenai makna, eksistensialisme tidak memperlakukan individu sebagai sekedar konsep, melainkan menghargai subyektivitas individu jauh melampaui obyektivitasnya. Jika kebebasan mempunyai makna, maka kebebasan haruslah bertanggung jawab terhadap tindakan yang dipilih untuk dilakukan, dengan menyadari bahwa selalu ada ruang untuk mengambil pilihan, bagaimanapun terbatasnya situasi yang dihadapinya.  Manusia bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya. Penentuan ini dilakukan dengan membuat pilihan – pilihan. Akan tetapi, kebebasan membuat pilihan ini disertai rasa takut yang mendalam, karena dengan pilihan itu manusia  menyatakan tanggung  jawabnya bukan terhadap dirinya sendiri tetapi juga terhadap orang lain.  Sartre menjelaskan, karena manusia mula – mula sadar bahwa ia “ada”, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat begitu.
 Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia.[4] Bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang, dan  pada  saat itu pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Dari semua kategori Sartre, Ada yang paling tepat untuk diterapkan dalam analisis feminis adalah hubungan antar manusia, variasi dari dua bentuk dasar tema konflik. Konflik antara kesadaran yang saling bersaing yaitu Diri (sang laki – laki) dan Liyan (sang perempuan).
Manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri. Ia memiliki makna terdalam mengenai eksistensi dalam dirinya. Manusia mempunyai hak yang sama di dalam masyarakat. Hak yang sama adalah kebebasan. Menurut Simone De Beauvior, kebebasan yang diberikan kepada perempuan harus sama dengan kebebasan yang diberikan kepada laki-laki. Kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang didasarkan pada kesadaran dalam diri sendiri.[5]
Pada hakekatnya manusia adalah bebas, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. Konsekuensi adanya kekebasan adalah tidak berlakunya berbagai aturan, nilai dan norma bagi dirinya. Dalam ranah feminisme eksistensialis hak tersebut dapat dimisalkan tidak berlakunya staus dan peran perempuan dalam masyarakat. Feminis eksistensialis memiliki kuasa penuh untuk menentukan status dan perannya sendiri dan mampu membawa perubahan dengan mendobrak tatanan nilai dan norma sosial yang telah mapan dimasyarakat.[6]

 Eksistensialisme untuk Perempuan
Layaknya eksistensialis Sartre, feminis eksistensialis Beauvoir menganjurkan perempuan untuk hidup secara otentik yakni memunculkan kesadaran bahwa pada hakekatnya mereka bebas, tak terikat dengan segala aturan, hukum, nilai, norma dan streotipe yang ada. Dalam hal ini, feminis eksistensialis menilai wanita dengan mauvaise foi  (keyakinan  buruk) yaitu perempuan terjebak dalam  keyakinan yang buruk  dalam bentuk-bentuk streotipe dan cenderung menajdi inferior laki-laki.[7]
Eksistensialis  menjelaskan tentang eksistensi perempuan, Beaviour menggunakan bahasa ontologis dan eksistensialisme. Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau  dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sedangkan eksistensialisme, yaitu gerakan filosopis yang mempelajari pencaian makna seseorang dalam keberadaanya (eksistensi).[8] Jika Sartre mengatakan bahwa Liyan adalah ancaman bagi diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki – laki karena dalam konsep eksistensialisme Beauvior Liyan (sang perempuan) dan Diri (sang laki-laki). Jika laki – laki ingin tetap bebas, ia harus mengsubordinasi perempuan.
Beauvior menganalisis tentang bagaimana perempuan menjadi liyan. Beauvior menelaah perempuan tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki – laki, tetapi juga inferior terhadap laki – laki.  Perempuan adalah Ada untuk dirinya sebagaimana ia juga adalah Ada dalam dirinya, harus dicari tahu penyebab dam alasan diluar hal –hal yang diarahkan secara biologis dan fisiologis perempuan, untuk menjelaskan mengapa masyarakat memilih perempuan untuk menjadi Liyan. Menurut Engels, jenis pekerjaan seharusnya dibagi bukan berdasarkan gender, tetapi berdasarkan kemampuan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang untuk melakukan pekerjaan tersebut. Perempuan pekerja secara terus menerus, dan dimanapun berada diharuskan untuk menjadi dan bersikap sebagai perempuan. Disamping tugas profesionalnya, seorang perempuan pekerja diharuskan untuk melakukan pekerjaan yang diimplikasikan oleh “feminitasnya”, yang mana bagi masyarakat berarti kewajiban untuk berpenampilan yang menyenangkan.
Setiap perempuan harus dapat menggariskan nasibnya sendiri, hal ini harus dapat dimengerti dengan hati –hati. Perempuan dapat terikat dan terhambat oleh situasi – situasi (huku, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan) yang dapat menghambat kebebasan dan eksistensi perempuan. Beaviour bersikeras bahwa tidak ada satupun yang dapat membatasi dan memenjarakan perempuan secara total. Perempuan menentukan nasibnya sendiri, pada saat yang sama, perempuan akan lepas dari patriarki, ketika menentukan nasibnya sendiri. Perempuan harus membuat keputusan untuk melepaskan diri atau bertahan dengan harus menghadapi tingkat hambatan yang berbeda. Tidak ada seorang pun atau sesuatu pun yang dapat menghambat perempuan yang berketetapan hati untuk maju.    

 Perempuan dan “Liyan
            Diskursus filosofis liyan tak terpisahkan dari eksistensi perempuan. Dalam sejarah peradaban manusia, perempuan kerap memegang peran keduanya, dipandang protagonis dan diperlakukan sebagai antagonis, perempuan berada dalam pengalaman eksistensial subyek sekaligus obyek dalam societas, perempuan dalam kesehariannya dipuja dan ditindas. Ratifikasi perundang-undangan kerap menceburkan perempuan dalam kubangan ketidakpastian mengenai hak-hak atas tubuh dan eksistensinya. Budaya patriarki maskulinistik juga menjado skema penyingkiran kaum perempuan secara mudah dari kancah partisipasi politik yang lebih pasti. 
            Liyan adalah the second sex. Simone De Beauvior filosof perempuan menggagas pernyataan ini. Perempuan adalah Liyan. Perempuan disebut demikian karena sex. The second sex  bukan kategori psikologis, juga bukan kategori sosiologis, bukan pula antropologis, tetapi masuk kategori ontologis keseharian dan transendental. Liyan  (other) adalah konsep ontologis etis. Dalam liyan dipertaruhkan nilai keluhuran manusia. Dalam bukunya The second sex  Simone De Beauvior menulis “One is not born, but made a woman”. Menurut Simone De Beauvior perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia “dibuat demikian”, perempuan telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir melainkan “dicetak”, artinya perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah.
            Analisa de Beauvoir menegur kita. Perempuan telah cukup lama berada dalam keterkungkungan. Pendidikan pun, seolah bukan hak mereka. Kebebasan dan otonomonitas menjadi barang terlarang. Perempuan sebagai liyan  tidak saja terjadi pada zaman Kartini, tetapi juga saat ini ketika dirinya “digembok” dalam kungkungan kultur maskulinistik. “Kami perempuan, wajib menurut dan menyerah.. Kami terantai dalam adat istiadat kami.. Kami tidak boleh punya cita-cita mandiri. Kami harus seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekehendak hati orang lain!” (Surat Kartini Kepada Ny. Ovink-Soer, Agustus 1900). Budaya patriarkhis memberi kebebasan pada lakilaki untuk menjadikan perempuan sebagai liyan.[9]
            Bagi Simone De Beauvior menjadi manusia bebas adalah menjadi subyek. Beauvior berpendapat perempuan sangat berbeda dengan laki –laki. Perempuan dalam kenyataanya tidak memiliki otonomi untuk berpikir melainkan hanya keraguan akan dirinya. Masyarakat melihat bahwa perempuan itu adalah lemah, tidak penting, hanya pelengkap, pembantu, perempuan layak dibelakang. Beauvoir menempatkan perempuan sebagai liyan , menurutnya hal ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan melalui penciptaan mitos tentang perempuan yang irasionalitas, kompleksitas dan perempuan sulit dimengerti, dan perempuan tercipta unttuk menjadi pelengkap laki-laki.[10]
            Beauvoir menyatakan bahwa peran sosial sejalan dengan mekanisme utama yang digunakan oleh diri, subyek, untuk menguasai liyan, objek. Menurut Beauvoir perempuan menerima ke-liyan­-an mereka sebagai mistero feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi perempuan. Contohnya, peran sebagai istri membatasi kebebasan perempuan. Beauvoir ingin membuktikan bahwa perempuan terjebak pada peran feminis sebagai obyek, sebagai liyan, bukan subyek yang sesungguhnya.
            Pemikiran Simone De Beauvior mengenai eksistensi perempuan memang berangkat dari situasi keseharian yang konkret, bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki. Berangkat dari situasi itu, laki-laki memandang perempuan hanya sebagai yang “diluar” dirinya, tidak menjadi satu bagian sebagai manusia. Perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah insidental semata, tidak esensial. Laki-laki adalah subyek, sedangkan perempuan adalah orang lain atau liyan.[11] Gagasan liyan  Simone De Beauvior ini sebenarnya pararel dengan gagasan Sartre yang memberikan penjelasan mengenai sikap orang terhadap liyan, yakni ketidakpedulian, kebencian, bertindak sadis. Beauvior mendeskripsikan sikap kepada perempuan sebagai liyan  dengan bentuk penindasan, pengucilan, pengasingan, dan tindakan kekerasan kepada perempuan.[12]


[1] Ritzer,George.2003.Teori Sosiologi Modern.(Jakarta;Kencana,hlm.403).
[2] G.W.F Hegel.1967, The Phenomenology of Mind, New York, Harper & Row.
[3] Sartre, Jean Paul.1947, Existensialism, New York, Philosophical Library, hlm. 364.
[4] Tafsir, Ahmad. 2011,  Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Bandung,  PT. Remaja Rosdakary, hlm. 226-227.
[5] Riyanto, Armada. 2011, Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap, Widya Sasana Publication, Malang, Hlm.115.
[6] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html) Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[7] Nugroho, Wahyu Budi.2011. Feminis Eksistensial: Meninjay Eksistensialis Sartre dalam Feminis Beauvoir dalam (http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/feminisme-eksistensial.html) Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 19:07 WIB.
[9] Riyanto, Armada. 2011, Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap, Widya Sasana Publication, Malang, Hlm.55.
[10] Rosemarie, Putnam Tong. 2004, Feminis Thought, terjemahan Aquarini, Yogyakarta : Jalasutra, hal 265-266.
[11] Beauvior, De Simone. 2004, The Second sex dalam buku A Passion for wisdom , Upper Saddle River, New Jersey, Hlm.568.
[12] Riyanto, Armada. 2011, Aku dan Liyan: kata filsafat dan sayap, Widya Sasana Publication, Malang, Hlm.104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar